Hadapi Zaman dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
PADA saat (jaman) orang bohong dianggap jujur, orang jujur dianggap bohong; pengkhianat dianggap amanah, orang amanah dianggap pengkhianat; di situlah muncul zaman Ruwaibidhah, yang dijelaskan Nabi sebagai orang bodoh (pandir, dungu) tapi mengurusi orang umum.
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.”
Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas." (HR. Ibnu Majah)
Adapun jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama. Yang dimaksud ilmu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36)
Perbuatan curang memang biasanya tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor dan pemicu seseorang melakukan perbuatan tersebut.
Diantaranya:
Lemahnya iman, sedikitnya rasa takut kepada Allah dan kurangnya kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan menyaksikan setiap perbuatannya sekecil apa pun.
Kebodohan sebagian orang tentang haramnya perbuatan curang, khususnya dalam bentuk-bentuk tertentu dan saat perbuatan tersebut sudah menjadi sistem ilegal dalam sebuah lembaga atau organisasi.
Ketiadaan ikhlas (niat karena Allah) dalam melakukan aktivitas, baik dalam menuntut ilmu, berniaga dan yang lainnya.
Ambisi mengumpulkan pundi-pundi harta kekayaan dengan berbagai macam cara. Yang penting untung besar, walaupun dengan menumpuk dosa-dosa yang kelak menuntut balas.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi mempedulikan apa yang didapatkannya, dari yang halal atau dari yang haram.” (HR Bukhari)
Jauhilah Kesombongan
Salah satu tujuan diutusnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad 2/381)
Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak yang luhur dan mulia. Oleh karena itu, banyak dalil Al-Quran dan As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela. Demikian pula banyak dalil yang menunjukkan pujian bagi pemilik akhlak baik dan celaan bagi pemilik akhlak yang buruk. Salah satu akhlak buruk yang harus dihindari oleh setiap muslim adalah sikap sombong.
Sikap sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain.
Allah Ta’ala berfirman, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang -orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Allah Ta’ala berfirman, "Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang -orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl : 23)
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853)
Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan.
Allah Ta’ala berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah: 34). (*)