Hikmah Spiritual dan Makna Strategi Anies "Makan Malam"

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

TULISAN ini masih berkisar diskusi capres ABW di FPCI dua hari lalu. Saya tertarik membahasnya karena selain memang menjadi “passion” saya sebagai Diaspora Indonesia di luar negeri, ini juga karena diskusi itu walaupun tampak sangat spontan tapi penuh makna. Baik dalam pemaparan maupun jawaban-jawaban yang disampaikan oleh Anies Baswedan menggambarkan penguasaan masalah, sekaligus koneksi batin (spiritual) Anies dalam misi yang dijalankannya.

Kali ini saya akan menuliskan hikmah dan makna strategi yang saya pahami dari jawaban Anies tentang pertanyaan “makan malam”. Seorang anak muda bertanya kepadanya: “Kalau nanti terpilih jadi Presiden dan sekiranya Anies ingin mengundang tamu-tamu agung untuk makan malam, siapa gerangan tiga tamu Istimewa yang akan diundang?”

Oleh sang penanya ditambahkan bahwa jawaban boleh bersifat faktual. Tapi boleh juga sifatnya imajinatif. Bisa menyebutnya tiga nama orang yang masih hidup. Tapi boleh juga menyebut nama tokoh-tokoh agung yang telah tiada.

Anies sebagaimana lazimnya yang ia lakukan tidak berpikir panjang. Satu kelebihannya seolah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan spontan itu telah dipersiapkan secara matang. Sekali lagi, menjadi bukti soal kematangan wawasan, ketajaman berpikir dan kedalaman intelektualitas, serta ketinggian intelijensial baik pikiran maupun spiritual emotional.

Pertanyaan ini mungkin bagi banyak orang hal biasa (ordinary). Tapi jika didalami dan direnungkan kita akan temukan makna-makna yang extraordinary (luar biasa).

Dalam jawabannya Anies menyebut tiga tamu Agung yang akan diundang makan malam (imaginary dinner) olehnya: Nabi Muhammad SAW, Nelson Mandela, dan Mahatma Gandhi.

Mungkin ada yang bertanya kenapa ketiga orang ini? Atau mungkin juga ada yang mempertanyakan kenapa bukan tokoh dalam negeri seperti Bung Karno, Bung Hatta, BJ Habibie atau Gus Dur?

Jawabannya karena Anies sadar jika forum itu adalah forum yang membahas isu-isu dunia global. Hal ini sekaligus menggambarkan jika Anies memiliki tingkatan “hikmah” (wisdom) yang tinggi, yang mampu menyampaikan kata-kata yang sesuai konteks dan sikonnya.

Mungkin dalam bahasa Arabnya: “likulli maqaal maqaam” (setiap ucapan ada tempatnya).

Tamu Agung yang pertama undangan Anies adalah Nabi Muhammad SAW. Pilihan ini bukan pilihan sembarangan. Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah. Tapi juga sosok manusia, pemimpin dan “role model” (tauladan) yang terbaik.

Pengakuan akan kehebatan Muhammad SAW tidak saja dari mereka yang menjadi pengikutnya. Bahkan mereka yang tidak mengimaninya sekalipun (lihat misalnya buku Michael Hart: 100 tokoh paling berpengaruh).

Saya memandang pilihan ini sangat menggambarkan kemurnian Iman dan Islam. Bukan Islam yang hilang lantas tumbuh sesuai musim. Di musim politik tumbuh keislaman itu dengan berbagai simbol. Bahkan rajin mengunjungi pondok-pondok pesantren. Tapi di musim lain Islam itu hanya kenangan.

Dengan jawaban ini pula Anies tidak pernah ragu untuk mengekspresikan kebanggaannya sebagai seorang Muslim, bahkan mungkin saja di forum-forum yang tidak ekslusif Muslim. Tapi seperti itulah gambaran seorang Mukmin: “wa qaala innani minal Muslimin”.

Selain gambaran keagamaan (Iman dan Islam) pilihan ini juga menggambarkan visi perjuangan ke arah perubahan. Sejarah Rasulullah SAW memang berpusar pada perubahan itu.

Dimulai dari IQRA’ (wawasan luas) hingga kepada langkah perjuangan dengan keistiqamahan, beliau mewujudkan perubahan itu. Realita ini yang biasa diekspresikan dalam bahasa agama: “dari kegelapan kepada cahaya” (minaz zhulumat ilan nuur).

Kata perubahan ini menjadi inti dari perjuangan paslon Amin. Perubahan ke arah yang lebih baik. Dari keadaan yang saya yakin banyak yang setuju jika bangsa dan negara ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Hampir dalam segala lini kehidupan.

Dari perekonomian, kehidupan sosial, hingga ke hukum dan perpolitikan. Perlu tekad perubahan itu. Tamu agung kedua yang secara imajinary akan diunda. (*)