Ilmu Ugahari

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, sungguh perjalanan hidup bagaikan penampakan sinar mentari yang timbul-tenggelam di cakrawala. Kemunculan lembayung indah di ujung hari didahului kehadiran awan kelabu.

Begitupun perjalanan hidup manusia dan bangsa ini. Boleh jadi kita melihat sesuatu itu gelap, padahal dengan itu kita bisa menghargai cahaya kebenaran dan kesejatian. Boleh jadi kita melihat sesuatu itu baik, padahal itu membuat kita lupa diri.

Maka, bersedihlah secukupnya bila ditimpa musibah, salah dan kalah. Tidak usah terlalu sesal mendapati keindahan lembayung senja bergegas lenyap ditelan malam. Bukankah di kelam malam, rembulan bisa purnama. Kalaupun tiada purnama, kita bisa membunuh kelam dengan menyalakan lilin harapan.

Warisan sejarah perjuangan bangsa mengajarkan bahwa setiap krisis mengandung peluang untuk mengembalikan kualitas dan kesejatian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah dari pohon berduri."

Dan bergembiralah secukupnya bila merasakan anugerah, benar dan jaya. Bila mabuk kepayang, kita tak cukup waspada bahwa setelah musim panen bisa dilanda musim kemarau berkepanjangan.

Warisan sejarah bangsa ini juga telah mengajarkan betapa kita sering dilanda krisis dan mengulang kesalahan, karena perilaku elit negeri yang mabuk kepayang dengan laku aji mumpung.

Saat dikepung awan kelabu, yakinlah indah lembayung akan tiba pada waktunya. Saat menikmati indah lembayung, bersiaplah gelap malam akan menjemput.

Rahasia dari keselamatan dan kebahagiaan hidup adalah sikap "ugahari": senantiasa bersahaja dan sadar budi dalam suka dan duka, dalam terang dan gelap. (*)