Indonesia untuk Dunia

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, apa jadinya dunia tanpa Indonesia? Tanpa dinamika perubahan geografis di wilayah Nusantara, perkembangan kehidupan manusia sedunia mungkin belum beranjak dari hominid yang merangkak di pepohonan hutan hujan Afrika.

Penjelasannya antara lain tergambar dalam buku "Origins: How the Earth Made Us", karya Lewis Dartnell (2018).

Sekitar 3-4 juta tahun lalu, dataran Sahul (Papua yang menyatu dengan Australia) terlepas dari superkontinen Gondwana (di belahan bumi selatan) dan bergeser ke utara. Kejadian serupa ini menimbulkan keterpisahan benua Afrika yang semula menyatu dengan benua Amerika (Amerika Latin), dan keterlepasan India menuju dinding Asia Selatan.

Dataran Sahul yang bergeser ke utara lantas menutup arus laut Indonesia yang semula merupakan jalur aliran air hangat dari Samudera Pacific ke Samudera India. Hal itu membuat Samudera India jadi lebih dingin.

Pada saat yang sama pergerakan angin monsoon dari pegunungan Himalaya dan Tibet ke arah Samudera India juga menambah pendinginan di kawasan Samudera India.

Kondisi ini mungurangi penguapan di kawasan Samudera India dan menimbulkan efek pengisapan atmosfir yang menarik kelembaban udara dari kawasan Afrika Timur.

Akibatnya, Afrika Timur mengalami pengeringan, yang secara perlahan mengubah bagian luas hutan hujan tropisnya jadi padang rumput. Hominid (masih kerabat simpanse) yang semula jalannya merangkak di pepohonan lantas turun ke padang rumput dan kian terlatih berjalan dengan berdiri tegak.

Proses ini seiring dengan perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pergeseran rotasi bumi terhadap matahari. Pola rotasi bumi terhadap matahari tak selalu sama bulat (presisi); adakalanya eksentrik berpola lonjong (ellipse), membuat jarak bumi dan matahari bisa mendekat dan menjauh – dan temperatur bumi bisa menghangat dan mendingin.

Pergeseran terus-menerus temperatur bumi tersebut membawa perubahan biokimiawi dalam struktur otak manusia. Dalam jutaan tahun lamanya, kapasitas otak manusia makin besar.

Semua pergeseran itulah – ditambah faktor lainnya – yang menjadikan homo sapiens seperti manusia saat ini.

Singkat kata, mencintai Indonesia berarti mengingat dan mensyukuri asal-usul kemanusiaan. Mencintai Indonesia berarti mencintai dunia. (*)