Jauh Pandang

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, setiap kita adalah penumpang perahu penghubung, yang mengantarkan manusia berjelajah dari hulu masa lalu ke samudera masa depan, melalui aliran sungai masa kini.

Maka, ingatlah selalu bahwa mitra eksistensial kita bukan hanya sesama penumpang perahu saat ini, tetapi juga leluhur di masa lalu dan keturunan di masa datang.

Salah satu kelebihan manusia dari hewan adalah kemampuannya melakukan penjelajahan waktu (time-travel): mengenang jauh ke masa lalu dan membayangkan jauh ke masa depan.

Dengan kemampuan itu, gerak tumbuh pohon kehidupan harus senantiasa mengingat dari mana kita bermula, di mana kita berjejak, karunia potensi apa yang kita miliki, dari akar tradisi-kesejarahan seperti apa kita tumbuh.

Gerak kehidupan juga harus bisa membayangkan kemungkinan mendatang dengan mengantisipasi perubahan, menyesuaikan diri dengan perkembangan, berwawasan kosmopolitan dengan kesiapan belajar pada praktik terbaik dari sumber mana pun, menyiapkan perencanaan dan haluan ke masa depan.

Ancaman terbesar yang menguji kesejatian dan keberlangsungan kita saat ini adalah jebakan pandangan waktu jangka pendek (short-termism). Problem rabun jauh ini bukan saja membuat kita cenderung mengabaikan pelajaran sejarah – dengan risiko mengulangi kesalahan yang sama; tetapi juga melemahkan daya antisipatif-responsif untuk menghadapi masa depan.

Kita hidup dalam kubangan involutif kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan. Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh tekanan kedaruratan.

Kehidupan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu kita justru tertawan short-termism.

Kenanglah, tanpa visi jangka panjang tak akan pernah kita warisi Borobudur yang pembangunannya memakan waktu nyaris satu abad. Ingatlah, negeri yang kita huni ini bukan hanya warisan dari leluhur kita, melainkan juga titipan dari generasi mendatang. (*)