Jiwa Budaya
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, corak peradaban kita hari ini mencerminkan jiwa budaya kita. Penjelasannya terurai dalam buku The Decline of the West, karya Oswald Spengler (1918 & 1922).
Spengler memperkenalkan konsep peradaban bersiklus. Setiap peradaban berkembang, mencapai puncaknya, dan akhirnya mengalami kemunduran, mirip dengan kehidupan organisme hidup.
Spengler membedakan konsep kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan adalah fase kreatif, penuh dengan inovasi dan eksplorasi spiritual, sedangkan peradaban adalah fase akhir yang lebih materialistik dan kurang inovatif. Menurutnya, Barat telah beralih dari kebudayaan ke peradaban.
Bagi Spengler, setiap kebudayaan dan peradaban tersebut memiliki jiwa budaya yang khas, yang memengaruhi bagaimana masyarakat dalam kebudayaan itu memandang dunia dan mengarahkan perkembangan spiritual, artistik, ilmiah, dan sosial mereka. Misalnya, kebudayaan Barat memiliki jiwa Faustian yang berbeda dari jiwa kebudayaan Mesir kuno atau kebudayaan India.
Jiwa budaya membentuk pandangan dunia (Weltanschauung) dari sebuah kebudayaan. Misalnya, kebudayaan Barat cenderung memiliki pandangan yang bersifat ekspansif dan dinamis, sedangkan kebudayaan Yunani kuno lebih mengutamakan keselarasan dan keseimbangan dalam bentuk-bentuk seni dan pemikiran mereka.
Jiwa budaya seringkali terlihat dalam bentuk-bentuk ekspresinya, seperti seni, arsitektur, musik, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Misalnya, arsitektur gotik Eropa mencerminkan jiwa Faustian yang berusaha melampaui batas dengan menara-menara tinggi, sementara arsitektur Mesir kuno dengan piramida dan kuil-kuil monumental mencerminkan jiwa kebudayaan yang mengutamakan ketenangan dan kesinambungan abadi.
Spengler memandang jiwa budaya sebagai sesuatu yang memiliki takdir. Setiap kebudayaan berkembang dan mengalami kemunduran sesuai pola yang tak bisa dihindari. Seperti organisme hidup yang memiliki batas usia, jiwa budaya juga mengalami batas pertumbuhan dan kreativitas.
Spengler percaya, memahami jiwa budaya suatu masyarakat memungkinkan kita memahami pola sejarah dan masa depan peradaban tersebut. Spengler pun mengingatkan bahwa perkembangan apa pun yang kita impikan harus dimulai dengan menata jiwa budaya yang sesuai. (*)