Kebahagiaan Otentik

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, cuaca kebatinan di langit jiwa bangsa ini diliputi kabut pesimisme, dengan cadangan oksigen persaudaraan yang kian menipis.

Dalam suasana kebatinan seperti itu, perlu diingatkan bahwa betapapun kelamnya bayangan krisis dan konflik ke depan, kita tak boleh kehilangan optimisme realistik secara korektif dan konstruktif. Pemikiran dan tindakan baik tak akan berbuah keburukan, begitu pun pemikiran dan tindakan buruk tak akan berbuah kebajikan. Untuk itu, kita harus mulai melangkah dengan psikologi positif.

Hal itu tersimpul dalam buku "Authentic Happiness", karya Martin Seligman (2011). Bahwa selama setengah abad terakhir, perhatian psikologi terkuras oleh persoalan "sakit mental" (mental illness): depresi, schizophrenia, alkoholisme, dll.

Melupakan kenyataan bahwa kehendak manusia bukan sekadar mengoreksi kelemahan, tapi juga menumbuhkan kekuatan-makna hidup yang lebih positif. Perjalanan kehidupan bukan sekadar bergerak dari minus lima ke minus tiga, lalu merasa lebih kurang menderita; tapi lebih dikehendaki bisa bergerak dari plus dua ke plus tujuh; terus tumbuh mengoptimalkan potensi dalam bahagia.

Tiba saatnya bagi psikologi untuk berusaha memahami emosi positif, membangun kekuatan dan kebajikan (virtue), dan menyediakan panduan untuk menemukan apa yang disebut Aristoteles sebagai "good life".

Dalam kaitan ini, tidak ada bukti bahwa kekuatan dan kebajikan berasal dari motivasi negatif. Kekuatan dan kebajikan tumbuh dari motivasi positif. Bukan keberhasilan yang mendorong optimisme, tapi optimisme-lah yang mendorong keberhasilan.

Psikologi positif dibangun di atas tiga pilar pengungkit kebahagiaan otentik. Pertama, studi tentang emosi positif: seperti kepercayaan diri, harapan, trust. Kedua, studi kepribadian (traits) positif: kebajikan (virtues), kemampuan (abilities), inteligensia. Ketiga, studi tentang institusi-institusi positif: demokrasi substantif, keluarga sakinah, kebebasan pers yang sehat, keagamaan welas asih.

Pada saat masyarakat dilanda krisis, kemampuan mengembangkan ketiga pilar itu bisa menjadi pengungkit rasa saling percaya, yang dapat mendorong kekuatan positif-produktif menuju kehidupan bersama yang lebih bermakna dan bahagia. (*)