Keimanan dan Pengorbanan
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, keimanan kita harus dibuktikan dengan kemampuan mengarungi ujian pengorbanan.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji?" (QS Al-Ankabut: 2)
Ujian pengorbanan inilah yang merupakan fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan. Seberat Nabi Ibrahim yang harus mengorbankan anak yang dicintainya.
Pengetahuan, kesadaran, dan cinta tanpa pengorbanan tak mungkin mendapatkan hasil yang diinginkan. Ibadah haji mestinya memberi kesadaran bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dalam kesediaan melakukan pengorbanan, yang disimbolkan dengan kerelaan ber-qurban.
Peribadatan tanpa pengorbanan disebut Mahatma Gandhi sebagai salah satu dari tujuh dosa sosial yang mematikan.
Niccolò Machiavelli, pembela nilai-nilai republikanisme yang sering disalahpahami, menengarai pemahaman agama ”berdasarkan kemalasan, bukan kesalehan” – yang lebih menekankan aspek ritual-formal ketimbang esensi ajaran kesalehan sosial merupakan pangkal korupsi. Al-Qur'an, Surat Al-Ma'un, menyebut orang seperti itu sebagai "pendusta agama".
Alhasil, mutu keimanan kita ditentukan oleh kelulusan melewati berbagai ujian pengorbanan. Diperlukan tekad dan keberanian untuk melakukan penyembelihan: menyembelih hasrat korup demi kesehatan negara, menyembelih keserakahan demi kesejahteraan umum;
Menyembelih elitisme demi penguatan kerakyatan, menyembelih nepotisme demi kesetaraan kesempatan, menyembelih komunalisme demi solidaritas kewargaan, menyembelih pemborosan demi kelestarian, menyembelih hedonisme demi produktivitas, menyembelih kekerasan demi kebahagiaan hidup bersama. Marilah kita berkorban! (*)