Kekuatan Mitos

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, Carl Gustav Jung dalam Psychology and Religion (1938) mengajukan pertanyaan retoris: ”Mengapa manusia primitif perlu berpanjang kata untuk melukiskan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa dalam alam kehidupan, seperti timbul-tenggelamnya matahari, bulan dan musim?”

Ia percaya bahwa peristiwa alam itu dituangkan ke dalam kisah dan mitos bukan sekadar cara untuk menjelaskannya secara fisik. Tetapi, ”dunia luar” itu digunakan untuk memberi pengertian terhadap ”dunia dalam”. Jung menyatakan bahwa kekayaan simbol-simbol dari manusia primitif itu – seni, agama, mitologi – untuk ribuan tahun lamanya membantu manusia memahami misteri kehidupan.

Dengan penjelasan itu, Jung menegaskan bahwa agama bukan hanya merupakan fenomena historis-sosiologis, tetapi juga memiliki signifikansi psikologis.

Dalam konteks ini, ia berpandangan bahwa agama sebaiknya dipahami dengan menghubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai ”collective unconsciousness” (ketidaksadaran kolektif), realitas psikis yang dialami bersama oleh semua manusia.

Collective unconsciousness ini diekspresikan melalui ”archetypes”, yakni pola-pola dasar pemikiran universal, atau imaji mental yang memengaruhi perasaan dan tindakan orang.

Menghubungkan konsepnya dengan pemikiran Lévy-Bruhl, uamg menegaskan bahwa kekuatan unconcious mind itu tampak pada masyarakat pra-aksara (pre-literate). Pemikiran orang-orang pra-aksara bersifat pra-logis. Implikasinya, pemikiran pra-aksara melibatkan ”partisipasi mistikal” dari peristiwa dan ide, suatu modus pemikiran kosmologis yang menghubungkan segala entitas, yang oleh pemikiran rasional akan dipisahkan.

Dalam elaborasinya tentang unconscious mind yang terkandung dalam berbagai archetypes, Jung tiba pada aneka bentuk simbol dan mitos yang memadukan kisah dan spiritualitas.

Di antara yang paling penting dari bentuk-bentuk archetypes dalam sastra-lisan yang berdimensi spiritualitas ini adalah ”orang tua bijaksana, ibu bumi (earth mother), anima dan animus (aspek feminin dan maskulin dari pria dan perempuan); salib, mandala, quarternity (elemen keberempatan), pahlawan, anak Tuhan, kedirian (self), tuhan, dan persona (Jung 1964: 67).

Sejalan dengan pemikiran Jung, Mircea Eliade menegaskan bahwa seluruh studi tentang agama pada dasarnya merupakan studi tentang simbolisme. Untuk memahami mitos, shamanisme, atau ritus inisiasi adalah usaha menguraikan ’struktur simbolik’ keagamaan, yang mewujud dalam pola-pola archetypes.

Lebih lanjut Eliade menyatakan bahwa seluruh ritus dan simbol keagamaan terkait dengan mitos-mitos kosmogenik tentang penciptaan dan tentang penstrukturan kosmos kehidupan dari realitas primordial atau kekacauan (Eliade, 1958, 1968).

Sebagaimana usaha agama dalam meyakinkan pemeluknya, usaha ideologi untuk menumbuhkan keyakinan warga terhadapnya juga harus menggunakan kekuatan simbolisme dan mitos. Pancasila tidak bisa diyakini dengan jalan menghapal, melainkan dengan memanfaatkan kekuatan naratif dan simbolisme estetik untuk menembus bawah sadar warga.

Keyakinan terhadap Pancasila bisa ditumbuhkan dengan memperluas ruang-ruang perjumpaan, wahana tempat emosi kolektif yang dikuatkan dengan berbagai upacara, ritual, simbol, nyanyian, permainan, yel-yel, dan kisah-kisah kepahlawanan yang dapat mengobarkan sentimen kolektif, yang disebut Durkheim sebagai collective effervescence.

Pengaruh kisah (sastra, sejarah, film) terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.

Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi _Women’s Liberation Movemen_t.

Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, ikut bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan (Lazar, et.al. 2006).

Belum lagi kalau kita bicara pengaruh yang ditimbulkan oleh karya-karya Homer, Goethe hingga Ronggo Warsito, yang memberi dampak yang luas bagi pandangan hidup masyarakatnya masing-masing. (*)