Kerasnya Perbedaan Pendapat Antara Guru dan Murid, Tanpa Bully dan Caci

Oleh: Luthfi Bashori, Pengasuh Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islam Singosari Malang

GURU: "Baca Basmalah dalam shalat itu tidak wajib, bahkan makruh (kurang baik)."

Murid: "Baca Basmalah dalam shalat itu hukumnya wajib, bahkan tidak sah shalat tanpa baca Basmalah."

Dialog di atas sebagai gambaran perbedaan pendapat yang cukup menyolok antara madzhab Maliki yang menghukumi makruh (kurang baik) dan madzhab Syafi'i yang menyatakan wajib (harus dilakukan) baca Basmalah jika shalatnya ingin sah.

Imam Maliki itu gurunya Imam Syafi'i, ternyata di antara beliau berdua terjadi perbedaan pendapat yang cukup keras, karena yang satu mengatakan hukumnya makruh atau tidak baik, yang lainnya mengatakan itu justru suatu kewajiban dan keharusan untuk dilakukan.

Ulama yang menyatakan bacaan Basmalah itu tidak wajib, karena menilai bahwa Basmalah itu adalah pasal/pembatas atas dua surat, bukan termasuk dalam hitungan surat Alfatihah.

Sedangkan ulama yang mewajibkan shalat itu harus membaca Basmalah, karena menilai Basmalah itu termasuk salah satu ayat dalam surat Alfatihah.

Perbedaan yang sangat tajam, namun tidak ada kata bully-membully di antara para ulama pengikut dari kedua madzhab tersebut, dan tidak ada yang merasa madzhabnya paling benar.

Para ulama pengikut madzhab Maliki, seperti Imam Alqadhi Iyadh Alyahsuby, seorang penulis kitab yang produktif, tidak terdengar membully dan mencaci amalan warga madzhab Syafi'i.

Sebaliknya para ulama pengikut madzhab Syafi'i, seperti Imam Nawawi, beliau ini di antara para ulama Syafi'iyah yang paling saya idolakan pendapat-pendapatnya, tidak pernah mengarang kitab yang isinya membully dan mencaci amaliyah warga madzhab Maliki.

Saya pernah ditanya oleh kawan, "Apakah sah seorang penganut Maliki bermakmum kepada seorang imam shalat yang bermaszhab Syafi'i, atau sebaliknya, karena keyakinan tehadap hukum baca Basmalah yang berbeda?"

Pertanyaan itu dulu pernah ditanyakan oleh seorang hadirin di majelisnya guru mulia saya, Abuya Assayyid Muhammad Alwi Almaliki.

Maka beliau balik bertanya: "Apakah shalatnya imam yang bermadzhab Maliki itu sah jika tanpa baca Basmalah?"

Penanya: "Ya sah, karena memang seperti itu ajaran dalam madzhab Maliki."

Abuya Assayyid Muhammad Alwi Almaliki melanjutkan, "Apakah shalatnya penganut madzhab Syafi'i itu sah, jika menambah bacaan Basmalah dalam shalatnya?"

Penanya: "Ya sah, karena seperti itulah keyakinan di dalam madzhabnya."

Abuya melanjutkan bertanya: "Imamnya sah dan makmumnya sah, apakah saat mereka shalat berjama'ah itu lantas shalat dari kedua belah pihak itu dihukumi batal, hanya karena perbedaan pandangan fiqih (ijtihad yang bersifat dhanniyud dilalah/perkiraan hasil ijtihad dari para imam madzhab) dalam menghukumi Basmalah, tentunya tidak kaan ? Jadi shalat dan jama'ahnya itu tetap sah".

Dialog di atas tentu bukan penggunaan bahasa dan istilah yang murni dari Abuya Assayyid Muhammad Alwi Almaliki, namun dialog di atas sebatas cara saya untuk menceritakan, dulu pernah terjadi dialog antar jama'ah majelis dengan Abuya Assayyid Muhammad Alwi Almaliki, dan kejadian itu terasa masih hangat tersimpan dalam memori saya.

Saya juga berkesimpulan bahwa makmum yang bermadzhab Syafi'i, seperti kebanyakan kaum muslimin Indonesia, jika berjamaah ikut imam dari lain madzhab, terutama saat berhaji & umrah, maka cukup meyakini bahwa shalatnya sang imam itu sah, walaupun tanpa baca Basmalah, jadi bermakmun shalat kepadanya pun ikut sah.

Makmum tidak perlu mentakwil-takwili semisal, "Ooh itu aslinya sang imam baca Basmalah dengan suara berbisik dipelankan."

Karena menurut madzhab Maliki justru hukumnya makruh kalau baca Basmalah saat shalat, jadi kemungkinan kecil sang imam yang mengerti ilmu fiqih Maliki itu membaca Basmalah. (*)