Menghidupkan Harapan

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

"HARAPAN itu sesuatu bersayap yg hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata, dan tak pernah henti sama sekali," tulis Emily Dickinson. Harapan itu melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada. Nada mayor membangkitkan “harapan positif” yang merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada minor membangkitkan “harapan negatif” yang menyentuh keinsyafan orang untuk menghindari keburukan.

Harapan positif itu bergema dari jiwa altruis, seperti “semut-semut” komunitas yang bergotong-royong meringankan derita sesama dalam alunan nada mayor yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti hartawan dermawan (sungguhan) yang hidup bersahaja tanpa gila harta dan puja.

Kemampuan usaha dan akumulasi kekayaannya dihikmati sebagai wahana dan amanah untuk berbakti menumbuhkan harapan mereka yang kurang mampu dan kurang beruntung.

Harapan positif itu seperti para atlet yang berjuang dalam ajang kompetisi antarbangsa. Dalam olah raga mengatasnamakan bangsa, kobaran jiwa “amatir” (amateur) – dari Latin, amātor (pencinta) – membuat atlet profesional ternama sekalipun siap bertarung demi cinta pada negerinya.

Saat dunia politik mengalami paceklik penyanyi merdu, dunia olah raga bisa melahirkan biduan pujaan sebagai sandaran harapan kebanggaan nasional. Nada mayor yang didendangkan etos kejuangan para atlet bisa ditularkan energi positifnya pada ranah tata kelola negara.

Meski nada mayor masih terdengar, arus deras pengharapan bangsa masih menggemakan tembang bernada minor. “Harapan negatif” menjadi koor sehari-sehari, mengharapkan penyelenggara negara hindari korupsi dan nepotisme, tak salah urus dan salah tingkah, dengan tendensi cuma ramai ing pamrih, namun sepi ing gawe, saat nyawa jutaan rakyat dipertaruhkan.

Dalam momen yang menguji daya sintas bangsa, para pemimpin politik dihadapkan pada pertanyaan gugatan Mencius. “Adakah perbedaan antara membunuh manusia dengan belati dan membunuhnya dengan salah urus?”

Letupan nada mayor di tengah masyarakat mestinya menggugah penyelenggara negara untuk bisa memperbesar api harapan positif dengan kesungguhan menyimak harapan negatifnya. Diperlukan kapasitas pemimpin untuk memilih jalan yang tepat. Maka, luruskan niat; berharap Tuhan menunjuki jalan lurus. (*)