Menjunjung Kemanusiaan
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, Paus Fransiscus menemukan alam terkembang sebagai guru. “Sungai tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.”
Manusia tercipta lebih istimewa, mengemban misi perawatan alam semesta. Jiwanya laksana mentari yang memancarkan cahaya kasih dalam gerak meninggi. Jika cahaya itu redup, dunia memasuki gelap malam; kemanusiaan terjerambab ke lembah kebiadaban. Tengoklah ke dalam, seberapa tinggi derajat kemanusiaan kita.
Tidakkah kepemimpinan lebih mendahulukan kepentingan pendukung dan keluarga sendiri? Tidakkah DPR membuat undang-undang yang menguntungkan oligarki dan diri sendiri? Tidakkah perusahaan hanya memperhatikan keuntungan sendiri, dengan merugikan orang banyak dan merusak lingkungan? Tidakkah agama cuma memedulikan keselamatan sesama seiman?
Manusia memang primata sosial. Secara genetik mirip simpanse. Padanya mengendap predisposisi naluriah yang sama dalam dorongan mengembangkan relasi dominatif, struktur sosial hierarkis, ketundukan pada yang superior, serta sprit tribalisme dengan penguasaan teritorial secara eksklusif.
Bisa dipahami, mengapa setelan dasar (default option) sistem politik dunia cenderung otoritarianisme. Demokrasi hanyalah pengecualian; sesekali muncul dengan sedikit percobaan yang berhasil. Bahkan pada era demokrasi, kebanyakan politik negara masih bersifat demokrasi semu.
Tapi, perlu diingat, manusia adalah primata istimewa. Satu-satunya yang dapat menciptakan, menerima dan bertindak atas dasar keyakinan dan nilai. Dengan itu, manusia tak hanya tunduk pada natur, melainkan – lewat proses pembelajaran (nurture), dapat mengolah natur jadi kultur.
Berkat kompas keyakinan dan nilai kultural, kebebasan alamiah dengan dorongan naluri primata ditransformasikan jadi "kebebasan sipil". Kekuatan dan kepentingan pribadi dibatasi oleh kehendak umum dan kebajikan bersama.
Semangat Kekeluargaan meluas dari komunalisme serumpun-sekubu-seiman jadi solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan. Itulah gerak meninggi humanisasi. Itulah jalan kemanusiaan yang adil dan beradab. (*)