Perlu Mengetahui, Memahami Fikih Muamalah Lalu Menunaikan
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
ALHAMDULILLAH Senin hari ini mengawali tahun 2024. InsyaAllah kita sekeluarga selalu sehat wal afiyaa dan dalam lindunganNYA serta diberkahi rezekiNYA, aamiin....
Pada hari pertama tahun Masehi ini, ijinkan saya berbagi tulisan tentang apa dan bagaimana Fikih Muamalah itu. Maaf jika tulisannya cukup panjang, karena menukil – mengutip dari beberapa sumber. Dan penulis menyadari sebagai Faqir Ilmi tentu saja bisa ada yang kurang dalam menguraikannya. Untuk itu mohon dipahami dan dimaklumi. Tentu saja dengan senang dan terbuka hati, penulis menerimanya.
Sebelum membahas berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan fikih mu’amalah, dalam tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian fikih mu’amalah, ruang lingkup pembahasan dan berbagai hal yang terkait dengannya.
Dengan demikian para pembaca akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai dan lebih terstruktur (sistematis) seputar fikih mu’amalah.
Hal ini penting agar seseorang dapat membedakan apakah suatu persoalan masuk dalam dimensi akidah, ibadah ataukah mu’amalah. Sebab masing-masing persoalan tersebut memiliki kekhasan, “aturan main” dan pendekatan yang tidak selalu sama.
Namun hal ini tidak berarti bahwa ajaran Islam itu terkotak-kotak (dikotomis) antara satu dengan lainnya dan tidak memiliki interkoneksi (keterkaitan antara satu dengan lainnya). Tetapi justru sebaliknya bahwa Islam merupakan ajaran ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan).
Oleh sebab itu, tentu Islam tidak boleh dilihat hanya dari satu aspek dan menafikan aspek lainnya. Seseorang tidak boleh hanya melihat Islam dari sudut akidah saja dan meninggalkan aspek ibadah dan mu’amalahnya, begitu pula sebaliknya.
Pengertian Fikih Mu’amalah menurut bahasa berarti pemahaman. Istilah fikih dengan pengertian seperti ini seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadits Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam antara lain:
“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap- tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Kata fikih dalam pengertian pemahaman juga bisa dijumpai dalam surat al-A’raf ; 179, dan an-Nisa’; 78, dan juga dalam hadits Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam bersabda: "Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” (HR. Bukhari Muslim)
Adapun pengertian fikih menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama ialah sebagai berikut;
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil dari dalil dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.”
Pengertian senada juga dikemukakan oleh ulama’ lainnya, yaitu:
“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan, yang disimpulkan dari al-qur’an dan as-sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’ untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan (ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fikih.”
Dari kedua istilah tersebut dapat difahami bahwa secara aplikatif, bahwa kata fikih memiliki pengertian yang sama (sinonim) dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti; fikih shalat (hukum shalat), fikih zakat (hukum zakat), fikih shiam (hukum puasa) dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian muamalah adalah; segala bentuk kegiatan dan transaksi serta perilaku manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, fiqih muamalah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat (yang bersumber dari al-qur’an dan hadits), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil- dalil syari’at secara terperinci.
Dalam pengertian yang lebih rinci, fikih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan menimpa mereka.
Prinsip-prinsip (Fikih) Mu’amalah;
a.Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.
“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”
b.Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur- unsur paksaan.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
c.Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.
“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;
“Kemudharatan harus dihilangkan”.
d.Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)
Ruang Lingkup dan Cabang-Cabang Fikih Mu’amalah;
Fikih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik secara vertikal maupun secara horizontal, baik yang berkaitan dengan individu, keluarga, masyarakat, bahkan yang berhubungan dengan negara baik saat damai maupun perang. Karena itu, secara garis besar, para fukaha’ (ulama’ fikih) membagi fikih menjadi dua macam, yaitu: fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah dan fikih mu’amalah yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia.
Ruang lingkup fikih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam baik berupa perintah maupun larangan- larangan hukum yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Sedangkan cabang-cabang fikih mu’amalah antara lain: Pertama: Hukum yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya, baik yang menyangkut aturan sipil, perdagangan, keluarga, gugatan hukum, dan lain sebagainya.
Contoh yang terkait dengan persoalan ini, antara lain; pembahasan tentang harta, baik dari aspek cara mendapatkan dan mendistribusikannya, maupun dari aspek hakekat dan konsep kepemilikan dalam Islam. Pembahasan tentang akad atau transaksi, hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyah) seperti; nikah, talak, hak-hak anak, hukum waris, wasiat, wakaf, dan berbagai hal yang berhubungan dengan hukum murafa’at (gugatan).
Kedua; hukum yang mengatur hubungan pribadi dengan negara (Islam), serta hubungan bilateral antara negara Islam dengan negara lain. Contoh-contoh kitab fikih yang berbicara tentang persoalan ini antara lain; Al-Ahkam as-sulthaniyah oleh Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la al-Farra’, As-Siyasah as-Syar’iyyah oleh Ibnu Taimiyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyyah oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf dan Yahya bin Adam al-Quraisyi, dan lainnya. (*)