Pertobatan Politik
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, centang-perenang dunia politik Indonesia hari ini terjadi karena reformasi melalui trayek yang salah: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik. Pelaksanaan demokrasi Indonesia belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi kemaslahatan umum.
Pemerintahan boleh berganti, tetapi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme terus dipertahankan. Adapun tanggung jawab politik pada kebaikan, kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan rakyat enggan ditunaikan.
Elit penguasa seakan lupa daratan, bahwa nilai kehidupan tidaklah ditentukan oleh tahun-tahun dalam kehidupannya, melainkan oleh kehidupannya dalam tahun-tahun tersebut. Bukan berapa lama berkuasa, melainkan nilai apa yang diberikan selama berkuasa.
Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi "the love of power" ketimbang "the power to love". Krisis kenegaraan di negeri ini terjadi karena jagad politik lebih didekap oleh orang-orang yang mencintai kekuasaan ketimbang kekuasaan untuk mencintai.
Di dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya sendiri. Demi kekuasaan yang melayani diri sendiri itu, elit negeri tak segan melakukan manipulasi hukum dan mengembangak politik belah bambu; dengan menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antar-identitas.
Memasuki tahun politik, kesadaran untuk menumbukan kekuatan mencintai itu terasa penting. Politik yang sedianya merupakan seni mengelola republik demi kebajikan kolektif melalui perbaikan otoritas publik, jangan sampai terjerumus menjadi seni menipu dan memecah-belah rakyat dengan mengatasnamakan “kebajikan publik”.
Bung Hatta mengingatkan, "Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.” (*)