Politik Sejati
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, dasar mengada politik itu budaya kota (polis). Dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif: keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kota sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang berarti tertib sosial-santun berkeadaban.
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar Fernand Braudel, "berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil) dan ramah (sociable)." Sejalan dengan itu, Max Weber mendefinisikan kota sebagai tempat yang direncanakan bagi kelompok "berbudaya" dan "rasional".
Dalam kota-kota (negara) beradab, warga kota (negara) menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya; bukan sekadar penduduk yang numpang tidur dan cari makan. Aktif terlibat, bergerak, berbaur dengan keragaman di ruang publik – tak malas gerak dan terisolasi di bungker identitas.
Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, tetapi terutama ”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik.
Orang Athena menyebut mereka yang tak memiliki komitmen dan kecerdasan dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata ”idiot” untuk menyebut keterbelakangan mental.
Untuk itu, perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.
Corak politik sangat menentukan. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kecerdasan dan kreativitas kewargaan.
Eric Weiner (2016) menengarai bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan.
Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif bersitumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, jenius, eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.
Di kota (negara) seperti itu, budaya literasi kuat. Spirit solidaritas dan cinta tanah air jadi kebajikan kewargaan. Pemimpin jadi penuntun. Warga jadi garda republik. (*)