Prestasi Tidur

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, baru saja terbangun, tamu tahun baru sudah menjemput mengetuk pintu.

"Sudah siap?" tanyanya. "Ya, jawabku." "Bekal apa yang kau siapkan sepanjang tahun untuk mengarungi dunia baru?” "Tidur panjang," sahutku.

Sebenarnya hati kecilku merasa malu. Waktu yang begitu berharga cuma kurayakan dengan prestasi tidur. Namun, seketika kuingat nasihat Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin yang senada dengan petuah Dalai Lama.

"Jadilah orang baik dan bermanfaat. Jika tak bisa, setidaknya tak berbuat jahat dan menyengsarakan orang lain."

Sa’di Shirazi, sang sufi pengembara, berkisah ihwal seorang raja rakus yang bertanya kepada seorang arif tentang jenis ibadah yang paling baik. Sang arif menjawab, "Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tak merugikan dan melukai rakyat meski untuk sesaat.”

Jadilah manusia produktif. Jika tak bisa, tidur lebih baik daripada terjaga hanya untuk merusak diri dan lingkungan kehidupan.

Memang mengecewakan, plan A yang telah dirancang matang tahun silam tak berjalan sesuai harapan. Namun, bukankah masih terbentang skenario lain, sepanjang sisa huruf alfabet dari B hingga Z.

Demikianlah, seorang optimis terjaga hingga tengah malam untuk menyaksikan tahun baru datang, sedang seorang pesimis terjaga untuk mengiringi tahun lama pergi.

Tak perlu terlalu kecewa dengan kehilangan. Pada dahan yang patah akan tumbuh tunas baru. Seperti kata T.S. Eliot. "Kata-kata tahun lalu milik bahasa tahun lalu sedang kata-kata tahun mendatang menunggu suara yang lain. Dan mengakhiri sesuatu juga berarti menandai suatu permulaan." (*)