Puasa Jadi Pemenang
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, apa artinya puasa bagi komunitas bangsa dengan mentalitas pecundang dan sungsang? Bukankah sejak awal puasa merupakan tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan Badar)?
Jika begitu, penyelamatan dan kemenangan apakah yang telah kita capai selama ini yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi kuat dalam kehidupan?
Setelah 25 tahun Reformasi 1998 belum kunjung memenuhi janji kesejahteraan, keadilan, kepastian hukum, pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar kesadaran bahwa perbudakan mental dan mental korup (corrupted mind) merupakan pangkal terdalam yang membuat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan begitu merajalela, kekayaan bangsa terus terkuras bagi seluas-luas kemakmuran oligarki dan kekuatan asing.
Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh Plato. Menurut Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur: mental (mind), ambisi (spirit), dan selera kesenangan (appetite). Kebaikan hidup tercapai manakala mental yang sehat memimpin atas ambisi dan kesenangan. Apa yang kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang kesenangan dan ambisi.
Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga barang mewah. Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang jadi meninggalkan tanggung jawab profesinya untuk merebut jabatan politik, dan bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Dorongan selera pasar dan ambisi perseorangan tersebut juga harus dibayar mahal dengan mengorbankan kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak mampu menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan mental serta cengkeraman selera dan ambisi.
Politik tanpa kepemimpinan mental yang sehat tak memiliki landasan perwujudan kebajikan dan kemenangan bersama. Karena kemenangan bersama hanya bisa dicapai jika tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera dikembangkan secara merdeka, rasional, berintegritas, berdaulat dan juga bertanggung jawab.
Ibadah puasa harus menjadi momen introspeksi dan pelatihan diri untuk membebaskan diri dari perbudakan mental dan mental korup sebagai syarat pencapaian kemenangan sejati. (*)