Sirna Bersama Bayu dan Debu, Terakhir Jokowi Jadi Inspektur Upacara
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
SEKITAR 15 jam lagi saat matahari terbit besok pada tanggal 17 Agustus 2023, genap 78 tahun kemerdekaan dan berdirinya bangsa Indonesia. Sejak sepekan lalu hingga akhir bulan akan berlalu hanya dengan upacara ceremonial, hiasan umbul-umbul dan lampu hias warna-warni, lomba-lomba, carnaval dan lain lain.
Malam nanti menjadi tradisi, diadakanlah malam renungan 17-an atau biasanya disebut “tirakatan” dengan menikmati tumpengan. Semua itu dilakukan setiap tahun.
Berbiaya besar tapi tidak memberikan efek kesejahteraan dan manfaat bagi rakyat. Hanya larut ke dalam euforia sesaat. Usai itu sirna bersama desir bayu berisi debu.
Peringatan hari kemerdekaan di Istana Merdeka besok pagi, merupakan yang terakhir bagi Presiden Joko Widodo sebagai Inspektur Upacara. Jokowi penggagas pemindahan Ibu Kota Negara, tak akan menikmati perayaan peringatan hari kemerdekaan di ibukota baru IKN bila benar terwujud.
Peringatan hari Kemerdekaan ke 78 tahun Negaraku Indonesia akan dilakukan dari Sabang sampai Merauke hingga Miangas ke Rote kita menyebut NKRI = Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NKRI adalah negeri yang dikarunia Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang berupa kekayaan alam yang luar biasa. Tanahnya subur – Tongkat kayu jadi tanaman (Koes Plus) –, memiliki kandungan mineral tambangnya melimpah dan beraneka ragam. Iklimnya nyaman sepanjang tahun.
Rakyatnya banyak dan pekerja keras, sifat religiusitas penduduknya tinggi. Warganya berbagai suku, bahasa dan agama. Mayoritas muslim...Bhineka Tunggal Ika.
Tetapi itulah, dalam menapaki tiga perempat abad, akibat salah urus ('miss management') para pemimpin terhadap NKRI dan rakyatnya, akibatnya pun fatal.
Hingga saat ini kondisi mayoritas penduduk Nusantara masih miskin (bahkan sampai 40% dari total populasinya, kata Bank Dunia terakhir).
Gap pendapatan antara si kaya dan si miskin bak perbedaan bumi dan langit. Di mana 1% penduduk terkaya bisa menguasai lebih dari 60% kekayaan nasional (GNP).
Fakta tak terbantahkan masih ada rakyatnya yang kelaparan, miskin sandang papan, sakit-sakitan, balitanya banyak yang kurang gizi ('stunting’). Pendidikan rakyatnya kalah jauh di level dunia bahkan pada level Asia.
Jangan bilang itu karena takdir!
Kalau tak ada upaya untuk mengubahnya dengan melakukan Perubahan dan Perbaikan dengan sungguh-sungguh, entah bagaimana nasib anak cucu cicit kita menuju Seabad Indonesia nanti? (*)