Komjen Oegroseno: Dalam Pilpres, Polisi Jangan Seperti Mobil Parkir!

TEMA HUT Bhayangkara pada 2013 ini adalah "Polisi Presisi untuk Negeri, Pemilu Damai Menuju Indonesia Emas". Mengiringi HUT ke-77 pada 1 Juli 2023 kali ini, untuk tayangan perdana Freedom Talk mewawancarai Komisaris Jenderal (Komjen) Purnawirawan Oegroseno, mantan Wakil Kepala Kepolisian RI (Wakapolri Periode 2013 2015).

Untuk mengetahui tema tersebut, Freedom News secara khusus mewawancarai Komjen Purnawirawan Oegroseno. Wawancara ini juga tayang di Freedom TV Indonesia kanal YouTube pada Jum’at, 7 Juli 2023, pukul 20.00 dengan judul: “Dalam Pilpres Polisi Jangan Seperti Mobil Parkir”. (https://www.youtube.com/watch?v=zeRSM1zQa4w)

Berikut ini petikannya:

Kali ini kita berbincang tentang posisi kepolisian sesuai dengan tema hari Bhayangkara Tahun 2023, yaitu “Polisi Presisi untuk Negeri, Pemilu Damai Menuju Indonesia Emas.” Nah, ini kan menyangkut pemilu damai. Jadi, sebaiknya bagaimana dalam menghadapi pemilu menurut Anda?

Jadi kalau kita ingat apa yang dikatakan oleh para pemimpin kita, kemudian kita pernah dipimpin oleh Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah), semua itu tidak lepas dari undang-undang yang ada pada Kepolisian. Kalau dulu kan UU Nomor 13 Tahun 1961, sekarang setelah reformasi diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2002, tetapi tugas polisi tidak akan berubah, satu sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, kemudian memberi rasa keamanan dan ketertiban masyarakat (rakatimas) dan penegak hukum.

Di sinilah pekerjaan-pekerjaan ini setelah saya ikuti sejak tahun 1979 saya masuk menjadi anggota Polri di Jakarta sampai 1 Maret 2014, perubahan-perubahan yang lebih mendekatkan kepada masyarakat dulu benar-benar terasa. Mengapa? Kita banyak belajar dari Kepolisian Jepang.

Dulu saya juga sekolah di Jepang, saya juga mempelajari Kepolisian di Amerika, jadi masyarakat di sana benar-benar mencintai polisi. Contoh di Amerika, kalau ada polisi yang meninggal masyarakat akan merasakan hilangnya rasa aman. Apa hubungannya polisi dengan rasa aman? Karena tugasnya polisi itu di situ, sehingga mereka begitu mendengar ada polisi yang meninggal berbondong-bondong di pinggir jalan akan menunggu iringan jenazah tadi lewat sampai ke pemakaman dengan membawa foto dan juga bunga, mereka merasa kehilangan di situ.

Di Jepang juga sama, polisi benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Dengan sistem urban yang ada di sana, polisi mengadakan kunjungan dari rumah ke rumah dan sebagainya. Ada orang tua ya didatangi oleh polisi, sehingga di keluarga siapa pun begitu ada polisi mereka merasa tenang dan nyaman.

Nah, di Indonesia ini sudah dicanangkan, ada Bhabin Kamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), sekarang bandingkan Kamtibmas ada berapa? Dulu pernah kita bandingkan Kamtibmas itu dengan jumlah desa atau kelurahan yang ada di Indonesia. Jadi kalau desa atau kelurahan ada 86.000-an berarti 86.000 polisi sudah harus ada di desa.

Tidak harus polisi yang jauh-jauh, masyarakat dari desa itu yang mau jadi polisi, ya sudah dididik. Jadi, saya pernah katakan begini. Kalau orang itu sehat kalau matanya tinggal satu karena kebetulan lahir cacat apakah gak boleh jadi polisi? Boleh saja dari yang matanya 2 kalau mata 1 menembak langsung kena orang. Kalau nembak mata satu, ini contoh.

Di sinilah yang harusnya mungkin polisi ke depan perlu lebih dihadirkan di tengah masyarakat. Kemudian pernah dihitung, berapa kekuatan Polsek (Kepolisian Sektor) sebenarnya, apakah Polsek boleh melakukan penegakkan hukum. Saya dengar waktu Pak Listyo (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) Kapolri, ini juga disampaikan mungkin penegakan hukum itu tidak dilakukan di Polsek-Polsek lagi.

Ini sama dengan konsep organisasi dulu waktu Pak Bambang Hendarso Dahuri menjabat Kapolri antara 2009 2010. Jadi kalau bisa Polsek itu melakukan tugas Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) pelindung dan pelayan, penegakan hukum di Polres saja.

Kan dulu banyak kejadian Polsek diserang karena nahan orang, kekuatan di Polsek kecil. Kalau Polsek mengerjakan Harkamtibmas, saya yakinlah ada Bhabinkamtibmas, ada polsek melaksanakan pemeliharaan Kamtibmas, kehadiran polisi berseragam lebih banyak, cinta masyarakat kepada polisi ini akan meningkat, tidak usah pakai survei pasti meningkat.

Kita kembali terkait tahun 2024, aparat Kepolisian sikap netralnya bagaimana, selama ini ada kecurigaan yang tidak pernah terbukti, dicurigai polisi tidak netral, bisa dijelaskan?

Kalau saya secara pribadi Bhabinkamtibmas diperkuat. Kemudian banyak saya dengar, apakah polisi atau Bhabinkamtibmas boleh mengambil gambar pada saat penghitungan suara. Kalau bagi saya di luar ring 1 TPS (Tempat Pemungutan Suara) berarti ring 2-nya di luar batas materi itu, Babinkamtibmas boleh ambil foto saja. Itu netral, cuma ambil foto saja, tinggal dihitung suara saja.

Jadi, jangan diartikan polisi terlibat netral atau tidak netral melakukan tugas pokok sesuai arahan pimpinan. Jika sudah diambil foto penghitungan suara di TPS nomor sekian gitu, nah itu sah kirim ke Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia). Jadi Mabes data intelijennya akan lengkap dengan jumlah penghitungan suara yang ada di seluruh Indonesia. Entah itu mau disimpan atau diedarkan, tetapi kalau saya tidak usah diedarkan, sehingga suatu saat sebagai penegak hukum punya data sendiri.

Itu lebih bagus ya?

Iya netral, netralnya seperti itu. Bukan netral tidak berbuat apa-apa, karena kita (polisi) bukan kendaraan barang mati yang gak bisa maju gak bisa mundur, bukan. Bukan diparkir netral benar-benar. Polisi netral dalam arti tidak memengaruhi pelaksanaan dari pesta demokrasi. Tetapi kalau ngambil foto saya rasa bagian dari netral.

Ya ini survei terhadap polisi sekarang agak naik, bagaimana perasaan Anda sebagai purnawirawan polisi dengan naiknya survei setelah kemarin jatuh akibar kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, dan lain lain.

Berharap naik terus, meningkatlah kepercayaan ini terus dibangun meningkat. Jadi, saya rasa sistem-sistem yang diciptakan dalam rangka pelayanan publik, informasi kepada publik ini secara online ya harus ada quick respons-nya. Jangan sampai nanti dibangun online, tapi masyarakat mau tanya ke polisi lama, minta bantuan ke polisi lama.

Dulu tahun 2012 dan 2013 itu pernah dicanangkan pengaduan 110. Jadi masyarakat se-Indonesia boleh diambil dari manapun dan nanti akan ditransfer di Polres di manapun dia berada, asal dia menyampaikan lokasi. Tapi yang membangun sistem adalah Telkom, semua software ya dari Telkom, infrastruktur yang bangun Telkom. Telkom kan sampai kecamatan hingga Polres kan pasti ada.

Jadi, kalau ada gangguan Telkom sampai kecamatan hingga Polres pasti ada. Jadi kalau ada gangguan Telkom itu kerjasama dengan KPI. Satu bulan Polri hanya membayar satu milliar rupiah kepada Telkom, kita tidak beli alat seluruh Indonesia.

Satu milliar rupiah tadi kalau itu diperhitungkan kembali dengan jasa telekomunikasi yang pernah kita lakukan dulu, polisi pakai telpon rumah biasa. Sekarang pakai HP, jasa telekomunikasi itu bisa dikonversi ke pelayanan publik tadi itu 110. Kemudian kalau mobil hilang bagaimana, kalau mobil hilang apa perlu lapor polisi ya kan?

Kalau mobil hilang yang perlu dicari mobilnya, hilangnya kapan akan kami temukan segera cukup pakai WA atau SMS, dikirim foto kendaraan, nomor BPKB kalau perlu, sebar ke seluruhan Bhabinkamtibmas se-Indonesia. Sudah gitu saja, itu mungkin pelayanan yang lebih singkat ke depan nanti.

Kembali tadi ke pelayanan dan harapan semakin naiknya hasil survei kepada kepolisian. Sebagai purnawirawan polisi dalam waktu yang hampir 2 tahun ini sejak 2022 sampai sekarang, 3 perwira tinggi dipecat dari Polri, bagaimana perasaan Anda? Ada Ferdy Sambo, ada Teddy Minahasa, ada Hendra Kurniawan.

Ya memang ini kondisi yang perlu prihatin begitu ya, jadi kita ingat dulu tahun 1977 atau 1976. Dulu ada petinggi polisi yang berkaitan dengan dugaan korupsi uang beras dan sebagainya. Itu hanya 4 koma sekian miliar rupiah, gak sampai Rp 5 miliar. Peristiwa itu terjadi saat saya masih berada di lembaga pendidikan saja dan merasakan malu, diantara rekan-rekan kita Angkatan Laut, Darat, dan Udara, dulu kan masih ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) nih.

Jadi, kondisi-kondisi yang terjadi sekarang-sekarang ini sebetulnya benar-benar semua anggota polisi malu. Apalagi, pelakunya perwira tinggi. Makanya setelah reformasi tadi polisi semakin besar untuk bagaimana me-manage, mengoperasionalkan dalam pembinaannya.

Saya rasa fungsi ke Propam (Profesi dan Pengamanan) yang dibentuk di Polri ini, itu perlu diperkuat. Saya sering mengatakan Propam harus diisi orang-orang yang memang ingin bertugas di Propam, jangan dipindah-pindah. Untuk itu perlu diperkuat kemudian (Kepala Divisi) Propam mestinya dijabat oleh seorang bintang 3, sejajar dengan Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum) Polri di situ. Jadi, Irwasum diubah namanya jadi Inspektorat Jenderal kembali bintang 3 mesti pengawasan oleh Propam.

Jika Propam bintang 3, saya rasa tidak ada rasa sungkan misalnya nanti kalau bertugas di Propam gak bisa tugas ke wilayah. Menurut saya sekarang ini tunjangan kinerja dan gaji sama, apa yang dipikirkan gak usah mikir harus jabat Kapolda, gak perlulah, di situ (Propam) saja.

Jadi semacam spesialisasi di bidang Propam diperkuat sehingga pengawasan di depan nanti tidak akan terjadi lagi hal-hal seperti yang kemarin terjadi oleh pejabat tinggi Polri yang terlibat kasus tindak pidana. Itu yang kita rasakan sepertinya polisi kok jelek semua, padahal polisi yang lebih baik itu masih lebih banyak.

Saya gak pernah katakan ada perang bintang, gak ada itu, karena ada polisi yang jelek, ada polisi yang baik, jadi tidak ada perang bintang menurut saya. Kalau perang bintang itu antara bintang ini saling perang memperebutkan apa, Kapolri mau diperebutkan apa kalau sudah ditentukan satu masa mau diperebutkan lagi.

Mengapa polisi seperti ini? Ini saya dapat info dari perwira itu dulu, mengapa polisi seperti ini, karena ada setoran dari bawahan ke atasan, dan terakhir di Medan ( maksudnya di Riau) itu bagaimana menghilangkannya?

Ya sebenarnya begini. Setoran itu sebenarnya karakter manusia polisi yang jelek, namun itu tadi karena ini urusan khusus belaka, namun tidak semua polisi seperti itu. Seharusnya diawasi, tetap kesempatan komunikasi antara pimpinan dengan anggota. Sebagai contoh saya (sewaktu Kapolda Sumut), saya bilang sama anggota, kalau kamu punya masalah asal informasi benar, saya dialog.

Jadi jangan ada barier-barier untuk komunikasi. Sama dengan kita yang beragama Islam komunikasi dengan Allah itu kan setiap saat, sehari bisa lima kali dan itu tidak dilarang, hanya ambil air wudhu menghadap kiblat ya sudah selesaikan.

Nah, sekarang kalau ada anggota mau ketemu Kapolda jangan di kantor saja, nanti jam 5 saya perlu. Sekarang seorang Kapolda kesibukannya apa sih, gak terlalu sibuk, paling sibuk itu Kapolsek, Kapolres ya sibuk sedikit. Kalau Kapolda gak sibuk, di rumah cuma jalan dari depan ke belakang sudah selesai, gak ada masalah, kantor juga gak terlalu sibuk.

Jadi, membangun komunikasi dengan anggota itu harus lebih banyak, terutama pada saat mejabat sebagai Kapolda.

Tadi saya ralat orang yang kerja di Riau, bukan di Sumatera Utara. Menurut Anda, penanganan berbagai bentuk kriminalitas baik itu begal motor atau pencurian, segala macam pembunuhan dan juga terakhir kita lihat bagaimana getolnya polisi memberantas tindak pidana perdagangan orang, kemarin saya baca sudah 700 orang ditangkap, ini juga terorisme kan isu-isu juga pencucian uang ini, isu yang begini, bagaimana polisi menghadapinya, apakah polisi sudah siap secara teknologi secara sumber daya manusia karena kejahatan seperti ini akan terus terjadi.

Ya itu tadi penyebaran polisi di tingkat desa tadi, ada kelurahan diperkuat jadi seorang Bhabinkamtibmas itu bisa berpangkat dari Brigadir sampai Kompol dia jabatan-jabatan komisioner yang tetap bisa naik pangkat. Jadi dia akan tetap bekerja di situ dengan tunjangan kinerjanya cukup dan tunjangan jabatan ada. Jadi, polisi seperti itu sejak pisah dengan ABRI, dengan TNI itu ya kayaknya lebih bagus pangkatnya diubah.

Sekarang bayangin, pangkat TNI Polri dipakai di mana-mana, BPN (Badan Pertanahan Nasional) pakai, Imigrasi pakai, semuanya pakai, apalagi kemarin Satpam pakai baju polisi. Ubahlah, seperti di Amerika saja kepala polisi negara bagian, negara bagian kalau di kita kan provinsi, ya Kapolda di sana bintang 4 hanya di kerah baju, gak banyak, tapi kita tahu kepala polisi negara bagian atau Kapolri negara bagian seperti itu.

Jadi saya berpikir saatnya tidak berpikir pangkat tapi berpikir kerja, akan ada tunjangan kinerja. Jadi pangkat tidak perlu dipikir gitu aja.

Apa aparat kepolisian dengan tidak (perlu) memikir pangkat?

Pendekatan-pendekatan militeristik itu tidak jelek, disiplinnya bagus, tapi kalau saya melihat, dulu pada 2009 sampai 2014 saya lihat Tribrata. Tribrata itu simbol yang dilihat di pakaian polisi.

Saya barusan dari Mabes Polri. Di parkiran Mabes ada lambang Tribrata tapi saya amati tidak ada tulisan ras-ras utama, topi polisi sekarang pakai topi lapangan, ada lambang Tribrata tapi tidak ada ras-ras utama, padahal arti ras utama itu adalah abdi utama dari Nusa dan bangsa, abdi utama, bukan abdi nomor 1, nomor 2.

Kita dulu kalau tugas pakai badge, pakai apa, jadi kalau sedang duduk nih badgenya dilepas, dilihat pasti ada tulisan ras-ras utama itu sering dibaca, dan itu seringkali diucapkan pada saat upacara, misalnya pada tanggal 17, 1 Juni diucapkan, 5 Oktober sama-sama dengan TNI lain diucapkan juga, nah itu dikembalikan kepada Tribrata yang asli.

Tribrata yang baru itu diubah oleh rekan-rekan saya pada 2002, itu saya kurang bisa meresapi. Tapi kalau Tribrata yang lama sampai detik ini saya masih hafal, ras utama, negara utama, warga negara teladan daripada negara. Warga negara teladan itu polisi gak boleh naik sepeda motor tanpa ada plat nomornya, itu gak boleh, terus yang ketiga wajib menjaga negara dan jiwa rakyat.

Jadi kalau warga tidak bisa tidur kemudian ada orang bermain musik di depan rumah telefon polisi, polisi itu harus datang memberi tahu. Jadi, keamanan ketertiban masyarakat itu lebih luas, pribadi masyarakat polisi yang jaga.

Ada pengalaman khusus yang Anda peroleh selama bertugas, polisi sebelum reformasi dan setelah reformasi jika dibandingkan dengan semasa Orde Baru?

Begini ya. Kita di polisi itu dibentuk dari lembaga pendidikan, kemudian ada kegiatan seperti mentor arahan pimpinan sampai sekarang saya masih ingat. Jadi waktu berpangkat letnan 2, begitu patroli di jalan raya ada kendaraan berhenti, itu polisi wajib berhenti kemudian ditanyakan ada apa? Kalau kendaraan itu mogok kita selalu siap dengan tali ditarik di mana rumah orang itu berada.

Itu pelayanan maksimal di jalan raya, nah sekarang masih ada gak? Kemudian saya di Jakarta Raya itu sirine di jalan saja jarang, Pak Harto (Presiden Suharto) jarang pakai sirine, sekarang setiap saat pakai sirine, siapa yang berhak pakai sirine ini, nah begitu, kepentingan pribadi merugikan banyak orang.

Saat kemarin sakit di rumah sakit, itu sirine pejabat bukan sirine ambulan, saya marah. Jadi jangan gitu, itu 50 meter sebelum rumah sakit dan 50 meter setelah rumah sakit itu dilarang membunyikan klakson, tempat ibadah juga sama.

Ini perlu ditertibkan lagi, entah Dinas Perhubungan atau Polri ya kan, dulu jaman Pak Hanto Wijoyo, Kapolda Metro Jaya, Pak Hanto Wijoyo itu kalau ada mobil-mobil pribadi pakai sirine diberhentikan, dicopot, pakai lampu rotator dicopot saat itu juga. Dilepas, begitu.

Jadi, ini perlu ditegakkan kembali budaya. Memang sebenarnya masyarakat ingin ketenangan kenyamanan kembali ke filosofi. Tugas Polri itu ciptakan ketertiban dan ketentraman supaya masyarakat bisa melaksanakan tugasnya secara baik, secara benar.

Lalu bagaimana dengan polisi yang di jalan yang menyalakan lampu, itu kan silau?

Ya itu juga saya waktu masih jabat Wakapolri, saya pikir ini ambil darimana? Dia tugas, silau itu, dan harusnya gak boleh, itu bisa menimbulkan kecelakaan. Tapi perlu saya sampaikan, kapan nih kira-kira dilarang, sudahlah. Saya dulu juga tidak pernah melakukan seperti itu, dulu pakai lampu muter-muter gak silau.

Sekarang kan lebih silau, ya mudah-mudahan nanti bisa didengar oleh Pak Kapolri, Pak Kapolda ya bisa ditertibkan kembalilah.

Masyarakat membutuhkan Polri kapan dan di mana pun ini yang sebenarnya terjadi sama dengan seperti dulu mantri dan dokter itu harus siap 24 jam. Polisi juga harus seperti itu 24 jam polisi juga seperti itu ya, maaf-maaf nih kalau orang gak direspon.

Jadi, sistem penerima laporan tadi kan jadi banyak orang mau laporan kehilangan di rumahnya. Kehilangan sesuatu lah atau dia mengalami suatu tindak pidana, gitu kan dan sebagainya. Kalau dibikin sistem online, sudah online saja.

Misalnya, di situ ada anggota Brimob ya anggota Brimob juga polisi, dia menerima laporan polisi sehingga tinggal klik menerima laporan polisi gitu. Jadi, harus bisa dilakukan oleh ya level kalau sekarang Ipda (Inspektur Dua). Kalau dulu Letnan Dua yah ke atas jadi kekuatannya gak sepele menerima laporan polisi. Itu kan seperti dokter, sakitnya kapan ada gejala atau gak ada sertifikat, sakit mual atau gak, kan di situ kemampuan itu seharusnya kemampuan yang dimiliki oleh perwira polisi.

Terakhir, Anda bisa closing statement, silakan.

Saya harap dengan berusianya polisi 77 ini bukan tambah tua tapi tambah dewasa, tambah percaya diri, yakin masyarakat akan selalu membutuhkan kehadiran Polri.

Mochamad Toha, M. Anwar Ibrahim