Tegas, Kasus Korupsi Kabasarnas Harus Lewat Peradilan Militer!
Jakarta, FreedomNews – Polemik soal kewenangan penanganan dugaan korupsi Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi berakhir. Marsdya Henri telah resmi ditetapkan tersangka oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI pada Senin (31/7/2023).
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Mahfud MD menyatakan, kasus korupsi yang melibatkan petinggi Basarnas itu sedang diproses melalui pengadilan militer. Menko Polhukam menyatakan terkait jabatan Kabasarnas, semua diserahkan ke TNI.
"Kalau terkait (jabatan Kabasarnas) itu urusan TNI, kan sudah nonaktif dan pensiun," ujar Mahfud kepada wartawan di Pantai Banongan Puslatpur 5 Situbondo, Jawa Timur pada Selasa (1/8/2023).
Menurut Mahfud, status jabatan Kabasarnas adalah sepenuhnya kewenangan pihak TNI. Mahfud optimistis, proses hukum militer akan bebas dari intervensi politik. Pengadilan militer itu berbeda dibandingkan pengadilan umum. "Kesan saya pengadilan militer kalau mengadili lebih streril dari intervensi politik," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kabasarnas RI Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap di lingkungan Basarnas.
“Diduga HA (Henri Alfiandi) bersama dan melalui ABC (Arif Budi Cahyanto) diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Komandan Puspom TNI Marsekal Muda (Marsda) R Agung Handoko menyatakan, proses hukum ditangani di pengadilan militer, karena saat peristiwa itu terjadi para tersangka masih aktif menjadi prajurit TNI. Meski demikian, pihaknya tetap bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus ini.
Mahfud menjelaskan alasan yang mendasari Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi tidak diproses di peradilan umum, melainkan di peradilan militer. Alasannya, UU Peradilan Militer belum direvisi.
"Ada Undang-Undang TNI, yakni Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, di situ diatur bahwa untuk tindak pidana militer yang bersifat tindak pidana umum untuk anggota TNI yang melakukan tindak pidana yang bersifat umum itu diadili oleh peradilan umum," kata Mahfud.
Dia menjelaskan kronologi aturannya. Pertama, ada UU Nomor 31 Tahun 1997 yang mengatur segala tindak pidana yang dilakukan anggota militer harus diadili oleh peradilan militer.
Kemudian terbit UU Nomor 43 Tahun 2004 mengamanatkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum maka diadili oleh peradilan umum, sedangkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana militer maka diadili oleh peradilan militer.
Meski begitu, ada satu hal yang membuat anggota TNI saat ini belum bisa diadili di peradilan umum meski dia melakukan tindak pidana umum. Satu hal itu adalah belum adanya revisi UU Peradilan Militer.
"Tetapi, itu ada aturan di dalam Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang tersebut (UU TNI), disebutkan sebelumnya ada Undang-Undang Peradilan Militer baru yang menggantikan atau menyempurnakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, itu masih dilakukan oleh peradilan militer," kata Mahfud.
Sehingga, Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi tetap diproses di peradilan militer, meski dia disangka melakukan tindak pidana non-militer. Mahfud tak mempermasalahkan hal ini.
"Jadi sudah tidak ada masalah. Tinggal masalah koordinasi, dan koordinasi sudah dilakukan tadi malam atas arahan Panglima TNI dan KSAU. Puspen TNI sudah melanjutkan, menersangkakan, menjadikan tersangka pejabat yang bersangkutan, dan sudah ditahan, untuk selanjutnya diproses menurut hukum di peradilan militer," tutur Mahfud.
Menurut Advokat Sumarso, SH, mestinya dilakukan koneksitas karena KUHAP telah mengaturnya secara tegas. “Sayangnya KPK tidak melaksanakan mekanisme koneksitas,” tegasnya. Padahal, “KPK sudah mengerti, karena KUHAP sudah mengatur. Ini langkah yang fatal bagi KPK.”
“KPK tidak hanya cukup dengan meminta maaf dan alasan khilaf, tapi harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Tugas Dewan Pengawas memberi sanksi pada pimpinan KPK,” lanjut Sumarso saat dihubungi Freedom News di Surabaya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini kutipan lengkapnya dari Pasal 65 dan Pasal 74 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pasal 65: (2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. (3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 74 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan. (2) Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Peradilan Militer dalam kasus Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi tersebut bakal sama dengan Peradilan Militer yang pernah dilakukan terhadap Letjen (Purn) Djadja Suparman, mantan Panglima KOSTRAD, Pangdam Jaya, dan Pangdam V Brawijaya.
Djadja Suparman
Dalam kasus yang menimpa dirinya, Djadja mencium adanya sejumlah kejanggalan. “Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022. Mereka ingin saya mati di penjara!” ungkap Djaja dalam siaran persnya kepada wartawan, Selasa (5/7/2022).
Kasus korupsi yang menjerat Djadja Suparman adalah terkait pembebasan lahan untuk Tol Waru-Juanda. Namun Djadja menilai hal itu akibat resiko jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya dan Pangdam Jaya 1997-1999.
Vonis 4 tahun penjara itu telah berkekuatan hukum tetap pada 2016 tetapi baru dieksekusi bulan Juli 2022. “Kenapa baru sekarang? Ke mana saja selama 6 tahun ini?” ujar mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 itu.
Djadja Suparman sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi pada 2016 agar dieksekusi. Tapi permintaan itu ditolak. “Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara?” tegas Djadja.
Djadja menilai, ia mengalami pembunuhan karakter selama 22 tahun terakhir. Tujuannya itu untuk menghambat dan menghancurkan karir dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purna bhakti.
“Sehingga tanpa disadari oleh para pejabat terkait dalam perkaranya, negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat,” ujar Djadja, seperti dilansir Detiknews, Selasa (05 Jul 2022 09:47 WIB).
Djadja juga menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut, Djadja menuliskan, dirinya menjadi korban pembunuhan karakter, padahal belakangan Irjenad TNI dan BPK mengatakan, Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.
“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” tegas Djadja.
Sebelumnya diberitakan, mantan Pangdam V/Brawijaya ini divonis 4 tahun penjara, dan denda Rp 30 juta. Djaja terbukti melanggar dakwaan subsider, yang dinyatakan bersalah telah melakukan korupsi uang negara senilai Rp 13,3 miliar.
Pembacaan vonis dengan 360 halaman yang dimulai, Kamis (26/9/2013) pukul 10.30 WIB hingga pukul 23.30 Wib, sempat diskors sebanyak tiga kali. Ketua Majelis Hakim dan dibantu dua anggota hakim Pengadilan Militer Tinggi II Surabaya Jalan Raya Bandara Juanda Lama membaca dakwaan selama 13 jam.
“Dalam amar putusannya, terdakwa terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A jo Pasal 28 Undang-Undang No 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Letjen TNI (Titular) Hidayat Manao, Jumat (27/9/2013) dini hari.
Putusan Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan yang dibacakan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono, yakni 3 tahun dengan denda Rp 1 miliar.
Perkara berawal dari kasus ruislag tanah di Waru, ketika Djaja menerima bantuan dana Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998 silam.
Dari total uang tersebut digunakan untuk membeli tanah seluas 20 ha yang nilainya Rp 4,2 miliar di Pasrepan, Pasuruan. Dan, juga digunakan untuk merenovasi Markas Batalyon Kompi C yang ada di Tuban, serta mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.
“Sisanya yang tinggal Rp 13,3 miliar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh terdakwa,” tuding Hidayat.
Masa penantian Djadja Suparman untuk menghadapi persidangan tuduhan korupsi atas dirinya baru terjadi setelah 48 bulan lamanya. “Tadinya kasus ini sebenarnya mau diangkat bersamaan dengan isu korupsi saat menjabat Pangkostrad. Tapi, itu tidak jalan,” katanya.
Pada 3 Januari 2005, Djadja kedatangan Direktur PT CMNP, pelaksana pembangunan yang baru. “Dirutnya Kolopaking, yang mengatakan, ini rada aneh. Ada dua Berita Acara. Penyerahan fisik dan penyerahan dana. Padahal, “Dalam daftar pembukuan di perusahaan tidak ada aliran dana ke pak Djadja,” kata Kolopaking. (Konon Dirut ini kemudian dipecat karena menyelidiki kasus ini).
“Memang saya tidak pernah menerima dana, terus saya bilang berita acara ini, ini palsu,” lanjut Djadja.
Berkaca dari Peradilan Militer atas Letjen (Purn) Djadja Suparman tersebut, secara prosedural jelas bahwa tuduhan korupsi yang ditujukan ke Djadja ini ketika ia masih menjabat Pangdam V Brawijaya. Ini pula yang akan berlaku pada Kepala Basarnas yang kini dijerat dengan tuduhan korupsi.
Proses peradilan terhadap Marsdya Henri Alfiandi akan sama dengan Djadja Suparman. Baik Oditur Militer Tinggi maupun Hakim Mahkamah Militer Tinggi di Jakarta, saat persidangan nanti mendapat pangkat Letnan Jenderal TNI (Titular), meski pangkat di luar persidangan itu Kolonel.
Seperti itulah yang berlaku di Peradilan Militer yang pernah terjadi saat persidangan Djadja Suparman di Mahkamah Militer Tinggi II Surabaya. (*)
Mochamad Toha