Apel Siaga 22 September 2024: Kekhawatiran Sang Pemimpin Menjelang Ajal Kekuasaan dan Bayang-bayang Masa Depan Keluarga
Pada akhirnya, sama seperti kisah Firaun yang harus menghadapi takdirnya, Jokowi mungkin akan dihadapkan pada kenyataan bahwa kekuasaan tidak selamanya bisa menjadi tameng. Perubahan, seperti gelombang pasang, tidak bisa dihentikan dengan pasukan loyalis saja.
Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Dewan Penasehat Perkumpulan Boemi Poetera Indonesia Jawa Timur, Tinggal di Surabaya
PADA Ahad, 22 September 2024, konon, ribuan pendukung Joko Widodo akan melaksanakan Apel Siaga. Dalam apel siaga tersebut mereka akan menegaskan komitmennya untuk setia dan menjaga keselamatan Jokowi dan keluarga paska lengsernya Jokowi dari kekuasaan.
Pernyataan komitmen ini seolah menjadi seruan perlawanan kepada rakyat Indonesia yang melihat Jokowi selama memimpin banyak melakukan pelanggaran konstitusi dan kontra reformasi.
Seruan perlawanan dari apa yang disebut sebagai "pasukan pembela Jokowi". Loyalitas dan janji setia mereka menggema, siap mati demi menjaga warisan sang presiden. Namun, di balik sorak-sorai tersebut, ada kecemasan yang mendalam – seperti Fir'aun yang dulu gelisah menghadapi ancaman Musa, Jokowi pun kini dihadapkan pada kenyataan bahwa masa kekuasaannya hampir habis.
Seperti Fir'aun yang tak hanya takut akan ancaman terhadap tahtanya, tetapi juga khawatir tentang kelangsungan keluarganya dan para pembesarnya, Jokowi mungkin memikirkan nasib keluarganya serta lingkaran kekuasaan yang telah ia bangun selama dua periode kepemimpinannya.
Firaun, yang dulunya merasa aman dalam kekuasaannya, menjadi terguncang ketika mengetahui bahwa masa depannya – dan masa depan keluarganya – terancam oleh kekuatan perubahan yang tak bisa dihentikan. Begitu pula dengan Jokowi, yang menyadari bahwa seiring berakhirnya masa kekuasaan, perlindungan yang sebelumnya ia berikan kepada keluarga dan kroninya juga akan melemah.
Selama menjabat, Jokowi memang telah memperkuat posisinya dengan menempatkan orang-orang kepercayaannya pada posisi strategis, menciptakan sebuah jaringan yang tak hanya – mereka akan – mendukungnya secara politik, tetapi juga memastikan keamanan bagi keluarganya.
Namun, dengan kedekatan akhir masa jabatannya, kekhawatiran pun mulai muncul: Apa yang akan terjadi pada mereka setelah ia tak lagi berkuasa?
Seperti halnya Fir'aun yang takut pada konsekuensi jatuhnya kekuasaan terhadap anak-anak dan kerabatnya, Jokowi mungkin membayangkan bagaimana keluarganya akan menghadapi era baru yang mungkin tak lagi memberikan perlindungan politik yang sama.
Di tengah kekuatan politik yang berfluktuasi, dan pengaruh Jokowi mulai melemah, bayang-bayang persaingan politik semakin besar, tokoh-tokoh baru, seperti Musa yang mulai membawa pesan akan pembebasan, telah menarik perhatian rakyat yang haus akan perubahan.
Bagi Jokowi, ancaman ini bukan hanya pada status dan kekuasaannya, tetapi juga pada warisan yang ia tinggalkan, dan lebih penting lagi, pada nasib keluarganya yang mungkin terancam oleh investigasi, tekanan politik, atau persekusi dari lawan-lawan politiknya.
Seperti Firaun yang berusaha mempertahankan kekuasaan dengan memobilisasi kekuatan besar, Jokowi juga mungkin melihat apel siaga ini sebagai upaya terakhir untuk menjaga pengaruhnya, bukan hanya demi mempertahankan posisi politik, tetapi juga untuk melindungi keluarga dan kroni-kroninya dari gelombang perubahan yang tidak bisa ia kontrol.
Kekhawatiran mendalam bahwa begitu masa jabatannya selesai, musuh-musuh politik akan mulai membongkar segala hal yang terjadi selama kekuasaannya, menambah kecemasan yang melanda dirinya dan lingkaran terdekatnya.
Apel siaga ini juga semakin menegaskan adanya kekhawatiran Jokowi dengan pemerintahan yang disebut sebagai pelanjutnya, akankah tetap bisa menjaga atau justru akan berbalik memusuhinya. Jokowi tampaknya sadar betul bahwa apa yang selama ini dilakukannya banyak yang melanggar konstitusi, memaksakan kehendak dan melukai hati rakyat.
Jokowi saat ini berada dalam ketidakpastian. Kasus yang menyerang Kaesang Pangarep berkaitan dengan kemewahan yang dipamerkan, akan semakin membuat, menambah kegundahan Jokowi berada dalam ketidakpastian. Belum lagi persoalan Gibran Rakabuming Raka dengan akun Fufufafa yang diduga miliknya yang menyerang Prabowo Subianto, ini juga akan membuat Jokowi tertekan.
Kabar yang berkembang, penentuan calon-calon kepala daerah yang berasal dari partai yang telah berseberangan dengannya dicarikan titik temu kepentingan antara pemerintahan baru dan partai yang saat ini dianggap memusuhi Jokowi, tampaknya Jokowi semakin tak berdaya.
Sementara pemerintahan selanjutnya juga harus mengamankan jalannya pemerintahannya. Maka wajarlah pada saat pidato pada pembukaan Kongres Partai Nasdem yang ketiga, 25 Agustus 2024, lalu Jokowi mengatakan “Biasanya datang itu ramai-ramai, terakhir begitu mau pergi ditinggal ramai-ramai, tapi saya yakin itu tidak dengan Bapak Surya Paloh, tidak dengan Bang Surya dan tidak juga dengan NasDem."
Pada akhirnya, sama seperti kisah Fir'aun yang harus menghadapi takdirnya, Jokowi mungkin akan dihadapkan pada kenyataan bahwa kekuasaan tidak selamanya bisa menjadi tameng. Perubahan, seperti gelombang pasang, tidak bisa dihentikan dengan pasukan loyalis saja.
Masa depan keluarga dan kroninya kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian, yang semakin dekat seiring berakhirnya masa jabatannya.
Selamat datang perubahan, selamat datang Indonesia, Indonesia yang bersih tanpa KKN dan kekuasaan yang dicengkeram oligarki. (*)