G 30 S PKI dan “G 22 S” Jokowi
“G 22 S” Jokowi silakan unjuk keberanian sampai mati di Tugu Proklamasi, tapi semua harus sadar bahwa Tugu Proklamasi adalah monumen perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bukan suatu monumen pembela penjajah.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
MASIH sekitar rencana aksi Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi tanggal 22 September 2024 di Tugu Proklamasi Jakarta. Umat Islam, TNI dan bangsa Indonesia harus waspada atas pergerakan ini. Tentu tidak persis sama dengan Gerakan 30 September PKI tahun 1965 tetapi potensial ada irisan.
Joko Widodo memilih September untuk membentuk pasukan pembelanya. Seperti ada irisan G 30 S PKI dengan “G 22 S” Jokowi.
Jika Jokowi tidak mengakui bahwa pasukan itu bentukannya atau apel akbar itu agendanya, maka dunia harap maklum. Kapan Jokowi mengaku soal kebijakan abu-abu? Soal ijazah saja ngumpet. Waktu awal ngumpet di gorong-gorong, nanti terakhir ngumpet di bawah Istana kelelawar IKN.
Jakarta ditinggal pergi untuk dibuat medan friksi. Tugu Proklamasi diinjak-injak pasukan "berani mati".
Sebelum G 30 S PKI, TNI diisukan membentuk Dewan Djenderal yang akan mengambil alih kekuasasn Soekarno. PKI yang didukung China mengantisipasi. DN Aidit pun dipanggil Mao Ze Dong ke Peking.
Bulan September 1965 PKI yang mendukung dan membela Soekarno melakukan konsolidasi dan puncaknya 30 September 1965. Konon memproteksi dari ancaman TNI. Kekuatan umat Islam sudah lebih dulu dilumpuhkan Soekarno sejak pembubaran MASYUMI rival PKI.
Konsolidasi Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi dilakukan pada bulan September 2024 dan akan berkulminasi pada kebulatan tekad tanggal 22 September 2024. Katanya yang akan hadir di Tugu Proklamasi bukan kaleng-kaleng, mungkin kayu-kayu.
Teringat juga bahwa pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso itu terjadi pada 18 September 1948.
September ceria atau September derita?
Jokowi juga membantah asal-usul PKI saat isu itu berkembang. Bambang Tri penulis buku "Jokowi Undercover" justru dipenjara atas bongkar-bongkarannya. Untuk dua kasus tuduhan, yaitu Jokowi terkait PKI dan Jokowi berijazah palsu. Dua kali Bambang Tri dipenjara. Kini masih berada di dalam bui rezim Jokowi.
Tjakrabirawa mengatasnamakan panggilan Soekarno untuk membunuh dan menculik jenderal TNI. PKI berlindung di balik otoritas Presiden yang sesungguhnya mulai melemah karena sakit-sakitan. Permainan keseimbangan TNI dan PKI ternyata berisiko tinggi.
Risiko tinggi pula bagi Jokowi yang memainkan massa "Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi" itu untuk menggertak lawan-lawan politiknya. Nasib Jokowi tidak akan jauh berbeda dengan PKI yang gagal dan babak belur akhirnya.
Jokowi lari ke Istana "kelelawar" Penajam Paser Utara. Dulu Soekarno lari ke Istana Bogor, DN Aidit ke Desa Sambeng Solo, Omar Dhani kelahiran Solo lari ke Kamboja dan ditangkap saat pulang ke Jakarta, sedangkan Kolonel Untung lari ke Tegal dan ditangkap di sana. Ia naik bus "Mudjur" yang membuatnya tidak mujur. Sebagian tokoh PKI tidak bisa lari dan ditangkap di Jakarta.
“G 22 S” Jokowi silakan unjuk keberanian sampai mati di Tugu Proklamasi, tapi semua harus sadar bahwa Tugu Proklamasi adalah monumen perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bukan suatu monumen pembela penjajah.
Elit "penjajah" di Srilangka dan Bangladesh juga dibela oleh pendukung berani mati Rajapaksa atau Hasina tetapi mereka tidak berdaya melawan gerakan rakyat yang lebih berani mati menumbangkan Presiden yang rakus dan zalim.
Rakyat tidak takut dan siap menghadapi Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi pimpinan Sukodigdo Wardoyo. Jika mereka berani macam-macam maka, “G 22 S” Jokowi akan sama nasibnya dengan G 30 S PKI.
September menjadi bulan malapetaka. PKI yang kuat dan hebat saja hancur berantakan. Akankah Jokowi ditangkap di PPU atau di Solo seperti DN Aidit? (*)