Garis Nasib Joko Widodo Berpratanda Sudah Memasuki Zona Derita

Tapi, sebagai manusia, Joko Widodo tidak akan lepas dari Hukum Kekekalan Energi (HKE). Paling lambat sebelum meninggal, ia akan menerima pencairan Tabungan Energi Negatif (TEN) yang telah ditabung sebagai akibat dari menumpuknya kejahatan kekuasaan yang dilakukan.

Oleh: Hamka Suyana, Pengamat Kemunculan Pratanda

HARI ini sudah memasuki tanggal baru, bulan yang mendebarkan bagi Prabowo Subianto dan bulan yang menegangkan dan menakutkan bagi Presiden Joko Widodo. Momentum kedatangan hari yang mendebarkan, menegangkan, dan menakutkan bagi mereka, adalah datangnya tanggal 20 Oktober 2024.

Menyongsong datangnya tanggal yang masih menyimpan seribu misteri tentang takdir yang bakal terjadi atas kepemimpinan yang akan datang, saya menganggap penting memosting ulang judul di atas, sebagai evaluasi terhadap opini yang cukup banyak sudah saya posting tentang kemunculan pratanda.

Bahwa semua artikel yang saya posting, narasinya melawan arus realitas politik yang terjadi dan melawan alur pemikiran umum. Dari semua artikel yang melawan arus pendapat publik tentang kemunculan pratanda terbagi menjadi 3 kemunculan pratanda yaitu: Anies Baswedan berpratanda akan menjadi Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto berpratanda akan gagal menjadi presiden, dan Joko Widodo berpratanda akan panen raya pencairan Tabungan Energi Negatif (TEN).

Landasan atau pedoman pengamatan kemunculan pratanda yang saya narasikan itu berdasarkan saintifik religius. Landasan saintifiknya teori Hukum Kekekalan Energi (HKE) yang turunnya adalah keberadaan Tabungan Energi, serta teori Isi dan Fungsi Pikiran Bawah Sadar. Sedangkan landasan religiusnya adalah Al Qur'an, khususnya Surat Ali Imran ayat 26 dan 54, serta Surat Muhammad ayat 7.

Setidaknya ada 3 unsur pertimbangan terhadap hasil pengamatan kemunculan pratanda yaitu: pratanda saintifik religius, prasangka, kemudian barulah menjadi keyakinan yang disimpulkan.

Karena yang saya tulis adalah kemunculan pratanda, maka saya tidak tahu takdir yang akan terjadi pasca dituliskan narasi. Seperti halnya, artikel kemunculan pratanda yang saya tulis pada tanggal 17 Juli 2024 tentang judul di atas, kekuasaan Presiden Joko Widodo masih sangat kuat.

Kemunculan pratanda mulai mendekati fakta, pasca peringatan HUT Kemerdekaan RI.

Dimulai dari tiga hari pasca pelaksanaan upacara HUT Kemerdekaan RI di Istana IKN Nusantara itu, TEN Presiden Joko Widodo mulai mencair. Menghabiskan sisa waktu dalam bulan Agustus hingga September, adalah hari-hari mengejutkan dan mengecewakan Presiden Joko Widodo karena ilusinya merasa menjadi "raja" mulai runtuh dan semakin mendekati tumbang.

Kejadian mengecewakan Presiden Joko Widodo antara lain, yaitu: Gagal menempatkan putranya, Kaesang Pangarep menjadi calon wakil gubernur; Gagal menjadi Dewan Pembina Partai Golkar;

Namun yang paling memorakporandakan ambisinya membangun dinasti kekuasaan keluarga itu adalah jejak digital putranya, Gibran Rakabuming Raka pada akun Kaskus, Fufufafa. Jejak digital akun Fufufafa bagaikan bom bunuh diri yang meledak di kepala Jokowi.

Selama ini kita tidak pernah tahu kalau ternyata Gibran punya perilaku yang seperti yang ditulis di Fufufafa itu. Alhamdulillah, catatan hasil pengamatan kemunculan pratanda, sudah mulai dibuktikan oleh Allah menjadi kenyataan.

Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, “TEN Joko Widodo Berpratanda Akan Panen Raya”.

Boleh-boleh saja Presiden Joko Widodo menjadi penguasa yang semena-mena. Ia tidak takut resiko melanggar hukum. Karena aturan hukum-positif buatan manusia bisa dimanipulasi dan dibeli. Boleh-boleh saja tidak takut dosa, karena resiko masuk neraka masih jauh di akhirat sana.

Tapi, sebagai manusia, Joko Widodo tidak akan lepas dari Hukum Kekekalan Energi (HKE). Paling lambat sebelum meninggal, ia akan menerima pencairan Tabungan Energi Negatif (TEN) yang telah ditabung sebagai akibat dari menumpuknya kejahatan kekuasaan yang dilakukan.

Menurut Hukum Kekekalan Energi (HKE), sekecil apapun energi yang digunakan manusia bersifat Tertutup, yaitu akan kembali kepada yang melepaskan, sebesar energi yang digunakan.

Fakta sejarah tentang pencairan TEN, sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi yang sedang berkuasa, yaitu bukti nyata pencairan TEN sebagai pembersih nama.

Dua orang bapak bangsa yang pernah memimpin Indonesia, yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Suharto ada kemiripan nasib pada akhir kehidupannya. Selama berkuasa, keduanya berjasa besar terhadap bangsa dan negara. Tetapi, setelah memasuki masa tua, keduanya jatuh dari kekuasaan dalam keadaan terhina.

Penderitaan pasca lengser dari kekuasaan cukup berat. Bung Karno yang ketika masih berkuasa, namanya terhormat, tiba-tiba harus hidup terisolasi di Wisma Yaso.

Setelah mengalami pencairan TEN kepemimpinan berupa penderitaan berat dan tekanan batin selama 3 tahun, Bung Karno wafat pada hari Ahad, 21 Juni 1970 pada usia 69 tahun. Setelah TEN mencair bersih, alias nol, maka yang tersisa adalah warisan yang mengharumkan nama dengan gelar kehormatan sebagai "Pahlawan Proklamator".

Kisah menjelang akhir kehidupan Pak Harto pun hampir sama dengan yang dialami Bung Karno, yaitu sama-sama menderita di masa tua.

Setelah Pak Harto lengser dari kekuasaan, bertubi-tubilah siksaan batin yang dialaminya. Berbagai kasus keluarga menambah berat penderitaan batin. Adiknya yang bernama Probosutejo masuk ke dalam penjara diikuti putra kesayangannya, Hutomo Mandala Putra plus bercerai dengan istrinya.

Perkawinan Titiek Suharto dengan Prabowo Subianto kandas, rumah tangga Bambang Trihatmodjo dengan Halimah pecah. Ditambah lagi, pasca lengser dari kekuasaan, dicecar hujatan dan hujan caci-maki terjadi setiap hari. Beratnya beban batin masa pencairan TEN menyebabkan Pak Harto sakit-sakitan yang pada akhirnya wafat pada tanggal 27 Januari 2008.

Hikmah berharga yang bisa dijadikan pelajaran kehidupan. Pak Harto berkuasa selama 32 tahun mengalami "pencucian" TEN selama 10 tahun.

Setelah TEN mencair bersih hingga nol, lambat laun jasa besar Pak Harto selama menjadi Presiden semakin banyak dikenang rakyat.

Misalnya saya, adalah salah satu saksi hidup dari sekian juta rakyat penerima manfaat jasa besar dari program transmigrasi. Demi Allah, saya sebagai salah satu mantan transmigran, yang berani mengatakan, bahwa program transmigrasi, insha Allah menjadi salah satu lumbung amal jariyah bagi Pak Harto.

Tentang pratanda kepemimpinan yang sedang berjalan, bagaimana kemungkinan yang akan terjadi terhadap TEN kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tinggal menghitung hari akan tiba saatnya lengser dari kekuasaan?

Sesungguhnya, Allah telah mengingatkan Presiden Joko Widodo agar belajar dari sejarah terhadap akhir kehidupan seorang pemimpin.

Ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki pada tanggal 6 Juli 2017, Presiden Joko Widodo menyempatkan dirinya mengunjungi makam tokoh sekuler, Mustafa Kamal Ataturk dan meletakkan karangan bunga.

Siapakah Mustafa Kamal Ataturk? Dia adalah Presiden pertama Turki, tokoh sekuler yang diktator otoriter. Keras terhadap ajaran Islam tapi membuka lebar pintu kemaksiatan, melegalkan minuman keras dan prostitusi.

Di antara bukti sejarah merendahkan ajaran Islam misalnya mengubah Masjid Hagia Sofia menjadi museum. Mengganti lafadz adzan berbahasa Arab menjadi bahasa lokal. Juga, melarang jilbab dikenakan di sekolah dan di kantor-kantor pemerintah.

Disebutkan bahwa kematian Mustafa Kamal Ataturk didahului dengan siksaan berat oleh penyakit yang dideritanya. Konon menurut kisah, setelah ia meninggal, jasadnya tidak bisa dikubur, karena ditolak oleh bumi.

Entah kesan apa yang tinggal di benak Presiden Joko Widodo pasca meletakkan karangan bunga di makam Mustafa Kamal Ataturk itu. Namun yang jelas, berdasarkan rekam jejak kepemimpinan pada periode kedua, gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo dipenuhi aroma diktator otoriter.

Terlalu banyak contohnya, misalnya kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis. Keputusan untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara secara ceroboh tanpa perencanaan matang. Tapi, berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan, perannya sebagai "dalang" atas tindak kejahatan demokrasi Pilpres curang adalah lahan pengumpulan TEN yang tergolong melampaui batas.

Cepat atau lambat, berdasarkan teori Hukum Kekekalan Energi (HKE), TEN yang dikumpulkan oleh Presiden Joko Widodo itu pasti mencair. Namun, tidak bisa diketahui karena mutlak masih menjadi rahasia Allah, adalah kapan waktunya, dalam bentuk apa itu, dan seberapa berat kadar pencairan Tabungan Energi Negatif (TEN). (*)