Indonesia, Merdeka dari Kolonialisme, Dijajah Oligarki

Jenazah Jokowi bisa dishalatkan jika kekayaan Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, dan Kahyang Ayu, disita oleh negara untuk membayar utang negara. Jika kekayaan mereka bertiga tidak mencapai Rp 20 ribu triliun, maka aset para Menteri yang disita.

Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)

PROKLAMASI 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Soekarno, anggota Muhammadiyah, membacakan teks proklamasi. Ny. Fatmawati, sang isteri, mengenakan kerudung dalam acara sakral tersebut. Sebab, Fatmawati adalah anggota Aisiyah, anak Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu.

Namun, kini rezim Joko Widodo, melarang peserta Paskibraka mengenakan jilbab. Nyata benar perbedaan di antara Muhammadiyah dan komunisme. Sebab, Ketua BPIP pernah bilang, musuh utama Pancasila adalah agama. Itulah slogan komunisme.

Tragisnya lagi, saat 79 tahun Indonesia merdeka dari kolonialisme, tapi kemudian dijajah oligarki. Dahsyatnya, jenazah Jokowi tidak bisa dishalatkan ketika meninggal dunia karena mewariskan utang sebesar Rp 20 ribu triliun.

Hakikat Kemerdekaan

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Itulah kalimat pertama, Pembukaan UUD 1945. Maknanya, rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, harus merdeka.

Pertama, merdeka di bidang pendidikan. Faktanya, menterinya Jokowi “memeras” rakyat dengan menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tinggi. Bahkan, mahasiswa Onsoed, protes karena kenaikan uang kuliah sampai lima kali lipat. Mahasiswa bernama Khariq Anhar misalnya, memprotes Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayar mahasiswa Unri.

Kedua, merdeka di sektor ekonomi, Maknanya, nilai rupiah semakin kompetitif. Justru Jokowi adalah presiden era reformasi yang memiliki nilai rupiah paling anjlok, Rp 16.400. Padahal, merdeka dalam sektor ekonomi bermakna, tiada impor komoditas yang ada di dalam negeri. Merdeka itu berarti, pembangunan infrastruktur tanpa utang. Tragisnya, Jokowi adalah presiden yang memiliki utang super dahyat, Rp 20 ribu triliun. Wajar, jika Jokowi digelar sebagai Bapak Pembangunan Utang.

Ketiga, merdeka di sektor politik. Maknanya, setiap warga negara, bebas berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Soekarno, Soeharto, dan Jokowi, adalah presiden yang paling banyak melanggar esensi pasal 28 UUD 1945. Soekarno menangkap lawan-lawan politiknya, khusus mereka yang menolak gagasan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunisme). Soeharto, presiden yang membubarkan partai-partai politik (1974) dengan tameng “regrouping” sehingga tinggal dua partai: PPP dan PDI.

Soeharto, lagi mengukuhkan kekuasaanya, membentuk Golkar sehingga bisa bertahan 32 tahun. Sepatutnya, Golkar dibubarkan pasca lengsernya Soeharto, seperti halnya PKI. Sebab, kedua partai ini menimbulkan kekisruhan konstitusional. Soekarno yang dikuasai PKI memaksakan Nasakom dan Golkar yang dikuasai AS memaksakan Asas Tunggal.

Jokowi, selain membubarkan FPI dan HTI juga cawe-cawe dalam mengintervensi partai politik, saat Pilpres, dan Pilkada 2024. Hal tersebut terjadi terhadap penggantian Ketua Umum Hanura, PPP, PSI, Demokrat, PDIP, dan Golkar. Hanya saja, Jokowi gagal merebut Ketua Umum Partai Demokrat dan PDIP. Namun, beliau berhasil memenangkan capresnya melalui adik ipar yang menjabat Ketua MK serta anak buahnya di KPU dan Bawaslu.

Jokowi, Bapak Pembangunan Korupsi

Periode Orde Lama, korupsi terjadi di bawah meja. Itulah sebabnya, Soekarno tidak bisa dituduh sebagai koruptor. Padahal, dalam BAP Harsono Reksoatmodjo, disebutkan, Soekarno menerima secara tunai, 15 kali berturut-turut dari dana revolusi yang totalnya, US$ 1.583. 800.

Disebutkan juga bahwa, Soekarno pada 10 Maret 1965, menerima komisi dari 350 mobil merek Brigestone Tyre. Co. Ltd, sebesar US$. 2.063.129,15 yang dimasukkan ke rekening Soekarno di salah satu Bank di Tokyo.

Periode Orde Baru, korupsi dilakukan di atas meja. Korupsinya lebih berupa kolusi dan nepotisme di antara keluarga Soeharto dengan golongan nonpribumi yang sekarang dikenal “Sembilan Naga” itu. Itulah sebabnya, maka Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, berisi perintah pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto.

Kejaksaan Agung, pada 9 Juli 2007 lalu, menggugat Soeharto secara perdata, termasuk Yayasan Supersemar. Hasilnya, MA menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun ke negara.

Orde Reformasi, korupsinya lebih dahsyat. Sebab, korupsi bukan terjadi di bawah atau di atas meja. Namun, mejanya yang dibawa kabur. Apalagi, korupsi pada era Jokowi. Sebab, Menteri yang paling banyak ditangkap Aparat Penegak Hukum (APH) adalah anak buahnya Jokowi. Megawati punya 4 menteri yang ditangkap APH. SBY punya 4 menteri yang ditangkap. Jokowi menghasilkan 6 menteri sebagai koruptor.

Jokowi dapat diberi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Korupsi. Sebab, pasca UU KPK diamandemen Jokowi, musibah beruntun melanda Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi (IPK), turun dari angka 40 menjadi 34, lebih rendah dari Timor Leste. Bahkan, KPK tidak bisa memroses kasus BLBI, Harun Masiku, serta Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep yang juga dilaporkan ke KPK.

Jokowi pula yang menerbitkan UU Minerba, Cipta Kerja, Kesehatan, dan IKN, demi kepentingan asing dan aseng yang dikenal sebagai oligarki. Tragisnya, orang kepercayaan Jokowi, yakni Ketua KPK, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat kasus pemerasan. Tak heran kalau selama kepemimpinan Jokowi, ada 57 kepala daerah yang ditangkap KPK.

Jokowi, Utang, dan Penguburan Jenazahnya

Ketua BEM UI, Andi Aulia Rahman melalui akun Twitter-nya, @andauliar, memasang tagar: “Jokowi Bohong”. Bahkan, wajar jika Guru Besar UGM mengatakan, “pemimpin boleh salah, tapi tidak boleh berbohong”.

Bahkan, Prof Amin Rais menganggap Jokowi sebagai seorang psikopat. Amin menyebutkan lima indikator Jokowi sebagai psikopat, yakni: narsisisme; tidak pernah merasa bersalah; berbuat dulu, akibatnya dipikir kemudian; tidak ada empati; dan perilaku anti sosial.

Persoalan yang tidak kalah serius, Jokowi adalah presiden yang paling banyak berutang. Tahun ini, dalam usia 79 tahun, utang Indonesia yang meliputi utang APBN, BUMN, serta gaji pensiunan TNI, Polri, dan ASN, mencapai Rp 20 ribu triliun.

Konsekwensi logisnya, jika meninggal dunia nanti, jenazah Jokowi tidak boleh dishalatkan. Sebab, menurut Nabi Muhammad, seseorang tidak boleh dishalatkan jenazahnya jika meninggalkan utang.

Jenazah Jokowi bisa dishalatkan jika kekayaan Gibran, Kaesang, dan Kahyang Ayu, disita oleh negara untuk membayar utang negara. Jika kekayaan mereka bertiga tidak mencapai Rp 20 ribu triliun, maka aset para Menteri yang disita.

Para penanggung-jawabnya adalah Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, dan Menteri BUMN.

Kalaupun aset anak-anak Jokowi dan tiga Menteri tersebut tidak cukup melunasi utang warisan Jokowi, maka mereka berenam harus diproses hukum oleh APH. Dampak positifnya, Indonesia 2045, bukan Tahun Emas, tapi insyaa’ Allah, Indonesia Berkah, sesuai dengan pesan alinea keempat Mukadimah UUD 1945. Semoga! (*)