Jangan Terkecoh Sandiwara “Raja Palsu”

Namun, di tengah ketidakpastian ini, saatnya bagi rakyat untuk menunjukkan perlawanan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Dahlan Iskan, "Gempa MK sedang terjadi dan sebentar lagi akan disusul oleh Tsunami Rakyat."

Oleh: Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FIC

PADA tanggal 1 Agustus, kita menyaksikan apa yang dapat disebut sebagai sebuah sandiwara politik yang memprihatinkan. "Raja Palsu" sebutan yang tampaknya tepat untuk sosok pemimpin yang kerap memanipulasi emosi rakyat menangis tersedu-sedu di hadapan para ulama.

Tindakan ini bukanlah refleksi dari penyesalan yang tulus, melainkan sekadar upaya untuk meraih simpati. Air mata buaya yang ia tumpahkan hanyalah kedok untuk menutupi niat busuknya di balik layar.

Hanya berselang sepuluh hari, tepatnya pada 10 Agustus, "Raja Palsu" kembali menunjukkan wajah aslinya. Ia membegal simbol Partai Beringin dan menendang abdi dalemnya sendiri tanpa ragu. Ini bukanlah pertama kalinya kita melihat betapa liciknya permainan politik yang dilakukan.

Sungguh ironis, seorang pemimpin yang baru saja meminta maaf di hadapan ulama, kini tanpa malu menunjukkan tindakan yang berlawanan dengan norma-norma kepemimpinan yang seharusnya ia junjung tinggi.

Lalu, pada 16 Agustus, kita disuguhkan adegan serupa. "Raja Palsu" sekali lagi tampil di hadapan Dewan Perwakilan Partai (bukan Rakyat), memohon maaf dengan suara bergetar, seolah-olah ia benar-benar menyesali apa yang telah ia lakukan.

Namun, hanya dalam waktu tiga hari setelahnya, ia dengan tanpa segan-segan menyegel seorang calon boneka di bekas ibu kota. Ini adalah bukti nyata bahwa setiap tindakan yang diambil hanyalah untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya.

Puncak dari manipulasi ini terjadi pada 22 Agustus, ketika "Raja Palsu" membegal konstitusi demi memastikan anaknya bisa menjadi calon gubernur. Ini adalah puncak dari permainan politik yang menjijikkan, di mana hukum dan aturan negara dijadikan alat untuk mewujudkan ambisi pribadi.

Dalam situasi ini, kita menyaksikan bagaimana institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru dijadikan alat oleh penguasa untuk memperpanjang dinasti politiknya.

Kita harus menyadari bahwa permintaan maaf yang berkali-kali dilakukan oleh "Raja Palsu" tersebut bukanlah tanda dari kesadaran diri yang mendalam. Tetapi sebaliknya, itu adalah strategi licik untuk menenangkan gelombang kritik yang datang bertubi-tubi.

"Raja Palsu" itu tahu betul bahwa dengan meneteskan air mata di depan publik, ia dapat meredam amarah sementara, sambil mempersiapkan langkah-langkah keji berikutnya.

Jika kita terus terbuai oleh air mata buaya ini, maka kita sama saja dengan memberikan izin kepada "Raja Palsu" untuk terus bermain di atas penderitaan rakyat.

Kita harus memahami bahwa setiap permintaan maaf yang disampaikannya itu bukanlah akhir dari masalah, melainkan awal dari masalah yang lebih besar. Hari ini ia menangis, tapi esoknya ia akan kembali dengan tindakan yang lebih gila dan lebih merusak.

Kegilaan ini harus dihentikan. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam permainan emosi yang dimainkan oleh "Raja Palsu". Ini bukan lagi soal individu atau kelompok tertentu, tetapi tentang masa depan negara ini. Jika kita membiarkan hal ini terus berlanjut, maka kita sedang menggali kubur bagi masa depan generasi mendatang.

Kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pandai bermain peran di atas panggung politik, tapi juga memiliki integritas dan komitmen terhadap kepentingan rakyat. Kita harus bergerak bersama untuk menolak segala bentuk manipulasi dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memiliki legitimasi moral.

Ingatlah selalu bahwa permintaan maaf hari ini bukanlah tanda perubahan, melainkan isyarat bahwa kejahatan yang lebih besar sedang disiapkan. Jangan sampai kita tertipu lagi oleh air mata buaya yang terus diteteskan oleh "Raja Palsu".

Saatnya kita bangkit dan melawan segala bentuk ketidakadilan dan penipuan yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung, bukan perusak, negeri ini.

Tsunami Rakyat

Sebelumnya, dinamika politik berubah, putusan MK porak-porandakan koalisi di berbagai daerah, percaturan antara keadilan demokrasi dan kerakusan sang penguasa.

Dalam sebuah putusan yang menggemparkan, Mahkamah Konstitusi melalui Hakim Suhartoyo, telah mengabulkan gugatan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.

Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini menetapkan bahwa Pilkada akan ditentukan berdasarkan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ini menjadi langkah revolusioner dalam perpolitikan daerah yang selama ini diatur dengan ketat oleh undang-undang sebelumnya.

Putusan ini mengklasifikasikan besaran suara sah menjadi empat kategori, yakni 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen, tergantung pada besaran DPT di masing-masing daerah.

Dampaknya, koalisi di berbagai daerah terguncang hebat, membuat dinamika politik berubah drastis. Banyak partai yang selama ini merasa aman dengan agendanya tiba-tiba terpukul oleh putusan ini yang datang menjelang batas akhir pendaftaran calon kepala daerah.

Namun, kita harus ingat bahwa apapun putusan MK, suka atau tidak suka, sudahnbersifat final dan mengikat. Inilah kenyataan dari dinamika politik yang seringkali diwarnai oleh kejutan-kejutan tak terduga. Tidak jarang, rencana yang telah disusun rapi berubah drastis dalam sekejap akibat ada putusan yang pragmatis dan realistis dari lembaga hukum tertinggi ini.

Dalam perkembangan terkini, terlihat bahwa perang antar lembaga negara, yakni DPR RI versus MK, telah mulai terjadi. DPR, yang dikenal sebagai perwakilan rakyat, tampaknya memback-up penuh ambisi penguasa saat ini.

Keterlibatan Presiden yang begitu kuat dalam mendorong putra mahkota ke-2 untuk menguasai daerah-daerah strategis semakin menguatkan dugaan bahwa ada agenda besar yang harus terwujud, walau harus menabrak konstitusi sekalipun.

Putusan MK untuk menurunkan ambang batas suara partai pengusung menjadi 7,5% dari 20% membuat DPR bereaksi cepat. Dalam waktu begitu singkat, DPR mengagendakan sidang untuk mengembalikan ambang batas tersebut ke 20%.

Ini menunjukkan bahwa dua lembaga negara ini sedang berada dalam konflik terbuka. Pertarungan politik tersebut menjadi penentu nasib demokrasi di negeri ini, apakah ada deal yang akhirnya akan mengorbankan kepentingan rakyat?

Rencana Badan Legislasi DPR untuk menggelar rapat setelah putusan MK ini telat memperlihatkan betapa ketidakkompakan lembaga negara semakin nyata. Ketidakkompakan ini bukanlah sekadar pertarungan biasa, melainkan tanda-tanda kehancuran republik ini yang disebabkan oleh ambisi seorang penguasa.

Begitu kuatnya sihir kekuasaan sehingga mampu merusak tatanan negara yang selama ini dijaga dengan ketat oleh berbagai aturan dan undang-undang.

Saat ini, semua mata tertuju pada pertarungan antara DPR RI dan MK. Apakah MK akan tetap teguh pada pendiriannya sebagai lembaga independen, atau akhirnya tunduk pada tekanan dari kekuasaan yang didukung oleh DPR?

Jika kedua lembaga ini pada akhirnya saling berbaikan dan menghasilkan kesepakatan yang mengabaikan kepentingan rakyat, maka kita harus bersiap untuk mengucapkan selamat tinggal pada Indonesia yang kita kenal.

Namun, di tengah ketidakpastian ini, saatnya bagi rakyat untuk menunjukkan perlawanan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Dahlan Iskan, "Gempa MK sedang terjadi dan sebentar lagi akan disusul oleh Tsunami Rakyat."

Ketika kemarahan rakyat sudah tak terbendung, apapun yang ada di depannya akan dilibas habis.

Akhirnya, ini adalah momen untuk bergandengan tangan, memperkuat dan mengokohkan benteng pertahanan bangsa. Pilihan ada di tangan kita semua: apakah kita akan merdeka atau kembali terjajah oleh ambisi segelintir penguasa? (*)