Jokowi Bagian Jaring Laba – Laba AS dan China?
Keberhasilan Pilpres 2019 bukan lagi keberhasilan AS sebagaimana Pilpres 2014, tetapi AS dan RRC secara kompak menerapkan Ideologi Freemasonry (penggabungan kekuatan Kapitalis dan Komunis) dengan Sandiwara seakan-akan AS kontra China, padahal masih satu tujuan juga untuk "menguasai" Indonesia.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
INFORMASI ini berasal dari berita Al Jazera yang bersumber artikel oleh Persatuan Umat Islam Seluruh Dunia (PUISD) atau WMA (World Muslim Asdociation).
Info ini sudah muncul di berbagai media Islam dalam negeri antara tahun 2010-2013 terlihat benang merah perjalanan Joko Widodo seorang mantan Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta yang kemudian Presiden RI akan menjadi jaring laba-laba AS (Amerika Serikat) dan China
Sejak akhir 2004, secara bersamaan pula SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi Presiden RI sedang Jokowidodo menjadi Walikota Solo. Kala itu baru saja terjadi "hiruk pikuk" bom Bali I dan II.
Ketika itu Presiden Megawati Soekarnoputri menolak permintaan AS untuk menangkap Abu Bakar Ba'asyir. Muncullah manuver intelijen CIA (yaitu dengan strategi menguasai media dan sebar uang) yang akhirnya Megawati terguling dan digantikan SBY.
Beban politiknya SBY harus tunduk kepada AS, di antaranya harus mau menangkap Ustadz ABB (Abu Bakar Ba'asyir) yang dianggap oleh AS sebagai tokoh teroris yang ditakuti oleh Amerika.
SBY dengan sigap menerima permintaan AS tersebut demi mencapai jabatan RI-1 yang dijanjikan dukungan AS. Sejak terpilihnya SBY dimulailah operasi penangkapan Abu Bakar Ba'asyir sebagai korban kepentingan AS – zionis Yahudi untuk melemahkan dan menghancurkan Islam.
Di sinilah SBY memberikan instruksi kepada Walikota Solo untuk membantu CIA dalam operasi tersebut (karena pemukiman Abu Bakar Ba'asyir, yaitu Pesantren Ngruki, berada di Kabupaten Sukoharjo, yang berbatasan dengan Kota Solo).
Operasi intelijen CIA dimulai dan bermarkas di Kota Solo ini, dengan pendampingan Walikota Solo Joko Widodo.
Selama pelaksanaan misi AS dengan CIA-nya itulah kemudian Walikota Solo ini dikenal oleh para pejabat AS, antara lain Menlu Condoliza Rice dan penggantinya Hillary Clinton, yang keduanya sempat berkunjung ke Solo juga untuk meninjau pelaksanaan operasi CIA dalam rangka rencana nyusun jebakan penangkapan Abu Bakar Ba'asyir.
AS sudah berpikir bahwa SBY (loyalis terhadap AS) maksimum hanya bisa berkuasa sampai akhir tahun 2014. Sehingga AS harus mencari pengganti SBY pada akhir tahun 2014 yang lebih loyal.
Meskipun menurut survei intelijen AS, yang dianggap potensial ada dua, yaitu Megawati dan Prabowo Subianto. Kedua-duanya itu tidak dikehendaki oleh AS, mengingat Megawati anak Soekarno, sedang Prabowo pernah "mengganjal" LB Moerdani, Jenderal kesayangan AS.
AS lebih memilih Jokowi untuk diproyeksikan sebagai Presiden RI di akhir 2014. Dengan harapan tentunya di bawah Jokowi semua kepentingan AS di Indonesia aman.
Maka mulai saat itu AS men-setting "road map" Jokowi dari hanya sebagai Walikota, menuju RI 1.
AS menugaskan mantan Jenderal seperti Luhut Binsar Panjaitan dan Hendro Priyono mendampingi Walikota Solo ini dengan melalui "modus" pura-pura bekerja sama dalam bisnis meubel keluarga Jokowi.
Tugasnya adalah mempopulerkan Sang Walikota Solo ini, maka CIA membuat manuver seolah-olah Walikota Solo ini, dalam kompetisi dunia, digambarkan sebagai walikota terbaik di dunia dan dihembuskan melalui majalah TIME serta media kelas dunia lainnya.
Konon di dalam negeri, CIA membayar Metro TV, KOMPAS, TEMPO dan lain-lain untuk mem-"blow up" Jokowi sehingga menjadi "Media Darling" dan populer di tengah masyarakat Indonesia, macam-macam rekayasa di-blow up secara besar-besaran.
Manuver CIA disertai dengan senjata menyebar uang (hampir sama AS mengubah UUD 1945) yang pada akhirnya berhasil mengorbitkan Jokowi menjadi Gubernur DKI dan Presiden RI.
Megawati yang dalam kondisi tersingkir, membajak Jokowi agar lebih loyal, taat dan patuh ke China, untuk target keberhasilan OBOR dengan Strategi "infrastruktur" dan pengerahan secara hebat para Tenaga Kerja China ke Indonesia.
Keberhasilan Pilpres 2019 bukan lagi keberhasilan AS sebagaimana Pilpres 2014, tetapi AS dan RRC secara kompak menerapkan Ideologi Freemasonry (penggabungan kekuatan Kapitalis dan Komunis) dengan Sandiwara seakan-akan AS kontra China, padahal masih satu tujuan juga untuk "menguasai" Indonesia.
Sampai di sini bisa dipahami? Bahwa AS dan China itu sama tujuannya, akan menguasai Indonesia. Satu-satunya jalan bagi rakyat Indonesia adanya kesadaran bersama Indonesia dalam ancaman AS dan China. (*)