Ketua MPR Penjilat dan Dungu

Pidato Sukarno: “Yo Sanak, Yo Kadang, Malah Yen Mati Aku Sing Kelangan”, ini adalah pidato sambutan Bung Karno yang diucapkan di dalam resepsi penutupan kongres nasional VI PKI pada malam tanggal 16 September 1959 di Gedung Pertemuan Umum, Jakarta.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

KETIKA posisi MPR sudah tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, peran dan fungsinya hanya sebagai pelengkap penderita (bawang kothong), terkesan kurang kerjaan.

"Bawang kothong" dalam istilah bahasa Jawa, bawang kothong adalah kata yang sering digunakan pada permainan anak-anak. Biasanya julukan ini diberikan kepada anak yang paling kecil di sebuah permainan. Tidak bermakna apa-apa, tetapi sering dianggap benar oleh kawan sepermainannya.

Tidak ada hujan dan angin lesus, Bambang Soesatyo atas nama Pimpinan MPR-RI mencabut TAP MPR 33/1967 dengan segala isi ketetapannya. Terkesan gembira seolah-olah sebagai pahlawan. MPR akan mensosialisasikan pencabutan status Bung Karno itu kepada seluruh Rakyat Indonesia.

Akan lebih serem proyek sosialisasinya digenapi dengan pasukan berani mati.

Pagi ini 10 September 2024 setelah terbaca Guru Besar UGM (Prof. SE) spontan keluar komentar dari beliau bahwa ada penilai seorang senior terhadap Bambang Susatyo ini penjilat dan dungu.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, "Ketetapan MPRS No XXXIII diputuskan oleh Ketetapan MPR No 1 tahun 2003, yaitu Ketetapan yang pelaksanaannya sudah selesai. Bukan dicabut. Lagi pula apa kewenangan (dari) Ketua MPR mencabut Ketetapan MPR? Ketetapan MPR hanya bisa dicabut berdasarkan keputusan Sidang Paripurna, bukan putusan Ketua MPR doang."

Mencabut Tap MPRS tidak cukup dengan selembar kertas surat yang ditandatangani Ketua MPR dan para Wakil-wakilnya yang hanya nurut saja.

Status TAP XXXIII/1967 bersifat; yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat, einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Pernyataan Bambang Soesatyo makin kelihatan dungunya yang berkomentar, dengan alasan Bung Karno tidak pernah diadili, maka tidak boleh ada tuduhan terlibat aktivitas G 30 S PKI.

Presiden Soeharto menyatakan agar presiden Soekarno tidak diadili, dengan slogan politiknya Mikul Duwur, Mendem Jero. Maksud dari falsafah itu adalah: Muliakan pemimpin kita dengan mengingat kebaikannya, Pendam dalam-dalam dan lupakan semua dosa kesalahannya.

Wajar muncul komentar di berbagai media sosial "inilah generasi yang tahun 1965 belum lahir tapi sudah berani menilai Bung Karno tidak terbukti salah".

Pimpinan MPR apa ada kontrak politik sampai dengan sengaja mengabaikan artefak tapak jejak politik di Indonesia bahwa :

Satu; TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Dua; TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Tiga; TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.

Adalah bukti bahwa kekuasaan yang ada di tangan Presiden Soekarno ketika itu digunakan ada keterlibatannya dengan PKI/G 30 S PKI.

Pimpinan MPR mungkin jangan dibenahi bacaan terlalu berat, setidaknya bisa baca ulang peristiwa (di luar TAP MPR) antara lain jejak:

Pidato Sukarno: “Yo Sanak, Yo Kadang, Malah Yen Mati Aku Sing Kelangan”, ini adalah pidato sambutan Bung Karno yang diucapkan di dalam resepsi penutupan kongres nasional VI PKI pada malam tanggal 16 September 1959 di Gedung Pertemuan Umum, Jakarta.

Keceplosan pernyataan Dewi Sukarno ketika berkunjung ke Jakarta terkait kejadian G 30 S PKI 5 tahun lalu.

Peringatan Jenderal A.Yani, Jenderal Nasution dan Jenderal yang lainnya mengingatkan dengan meminta kepada Presiden Soekarno agar jangan diteruskan pemikiran NAS-A-KOM karena tidak bisa KOM digabung dengan Nas-A berbahaya. Soekarno bertahan dengan idenya, "Saya ini sudah mendunia saya malu tarik kembali".

Pembantaian G 30 S PKI tanpa perintah atau persetujuan Presiden selaku Pangti TNI, mustahil Tjakra Bhirawa berani melakukan kegiatan di luar Istana, apalagi berupa operasi militer, terlebih berupa Culik-Bunuh atas para Jenderal TNI yang pangkatnya lebih tinggi yang nota bene harus mereka pandang sebagai atasan.

Terlalu banyak catatan sejarah yang bisa dibaca para pimpinan MPR agar tidak terlalu dungu.

Maka Pimpinan MPR-RI mencabut TAP MPR 33/1967 Soekarno tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI itu jelas pemutar-balikan fakta, buta sejarah, dugaan kuat sedang menjalankan perintah remote politik dari luar sebagai budak, boneka, penjilat yang dungu. (*)