Laksamana Yudo Margono Sebaiknya Mundur Sebagai Panglima TNI
Saat memberikan perintah di depan para prajuritnya, beliau telah "memberikan instruksi piting warga Rempang yang ngeyel. Justru saat warga Rempang Galang (Melayu) sedang berjuang mempertahankan tanah leluhurnya, dari penjajah gaya baru.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DALAM sebuah sejarah tercatat sosok Jenderal Sudirman dalam berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, apapun dikorbankan, bahkan siap mati di medan perang, untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.
Perjuangan, kesetiaan, dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara tidak pernah mengenal menyerah, apapun resikonya.
Bukti sejarah ketika itu hari Ahad, tanggal 19 Desember 1958, pagi pesawat tempur Belanda memuntahkan pelurunya (bom) menyerang Jogjakarta, membombardir lapangan terbang Maguwo.
Pada sekitar pukul 07.00 pesawat Dakota Belanda mulai menerjunkan pasukan payungnya untuk menguasai lapangan terbang Maguwo. Pada jam 08.00 Panglima Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah singkat, isinya: "kita telah diserang*.
Pada pukul 09.00 pesawat RI yang mendarat dari Tanjung Karang beserta enam pesawat lainnya ditahan Belanda.
Jenderal Sudirman selaku Panglima Besar meminta kepada Presiden di Istana Gedung Agung untuk bertindak. Yang terjadi justru membujuk, kata Presiden: "Dimas tinggal saja di sini bersama-sama kami. Jawab P Dirman singkat: "Wah tapi saya tidak bisa, saya tentara".
Di Istana saat itu ada dr. Asikin yang membisiki Kapten Cokro Pranolo "Hij kant het niet halen" (jangan dibawa keluar, akan mati). Lagi lagi dijawab singkat, P Dirman menolak: "Tidak mungkin. Saya akan memimpin gerilya dari hutan,” lapor Pak Dirman kepada Presiden.
P. Sudirman bisa lolos meninggalkan Istana, sekalipun pasukan terdepan Belanda mulai mendekati Istana melalui pasar Beringharjo dan kantor pos. Saat itu Letnan Kenal Tobing diperintahkan Presiden Sukarno untuk membawa bendera putih ke depan kantor Pos "tanda menyerah".
Kesatuan kecil Belanda masuk ke Istana, langsung ditemui Presiden, Wakil Presiden, Komodor Suryadarma, beberapa menteri ditahan kemudian dibawa ke Meguwo.
Saat itu Jenderal Sudirman sedang sakit tetap pimpin perlawanan. Presiden meminta untuk tidak bergerilya, perintah tersebut ditolak.
Di depan pasukannya Jenderal Sudirman mengatakan: "Merz or zonder pemerintah" (dengan atau tanpa pemerintah), TNI tak kenal menyerah, tetap akan menyerang Belanda.
Jenderal Sudirman mengambil sikap dan keputusan sangat tepat pada saat yang kritis, dalam waktu yang sangat kritis, bahkan saat itu banyak hambatan, banyak pejabat negara takut dengan keputusannya.
Bisa dibayangkan saat itu P. Dirman mengikuti kehendak Presiden dan mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sejarah Indonesia akan menjadi lain dan itu menjadi aib dalam sejarah TNI.
Kekuatan Jenderal Sudirman saat itu bukan karena memiliki alutsista yang hebat. Kekuatannya adalah "Rakyat Semesta*, mereka semua adalah pejuang "Bumi Poetra". Dari sanalah lahir sesanti kekuatan TNI adalah bersatu dan menyatukannya TNI dan Rakyat.
Tidak ingin membandingkan jiwa besar, pejuang sejati Jenderal Besar Sudirman dengan Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena memang rasanya tidak boleh dan tidak layak dibandingkan.
Saat memberikan perintah di depan para prajuritnya, beliau telah "memberikan instruksi piting warga Rempang yang ngeyel. Justru saat warga Rempang Galang (Melayu) sedang berjuang mempertahankan tanah leluhurnya, dari penjajah gaya baru.
Spontan sebagai rakyat terguncang sedih, tidak percaya bahwa itu terjadi. Tidak salah sebagian rakyat meminta segera introspeksi diri.
Sekedar berkaca dari perjuangan Jenderal Besar Sudirman, kalau setelah merenung ternyata itu perbuatan aib bagi TNI "sebaiknya segera mengundurkan diri sebagai panglima TNI". (*)