Menjelang Akhir Si Pecandu Kekuasaan

Menjelang akhir kekuasaannya, tentu saja suasana batin Jokowi mengalami kecemasan dan suatu kekhawatiran, penuh dengan ketidak pastian tentang jaminan keselamatan masa depan diri dan keluarganya.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya, Dewan Penasehat Perhimpunan Bumi Putera Indonesia, Jawa Timur

WAKTU seakan berhenti ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya berada di ujung perjalanan. Di saat seperti itulah, keheningan menjadi teman yang setia, menggantikan hiruk-pikuk dunia yang dulu begitu akrab. Hari-hari berlalu dalam kesadaran akan sebuah akhir yang tak terelakkan, dan setiap detik yang berlalu terasa lebih bermakna, lebih sarat dengan penyesalan, harapan, dan penerimaan.

Namun ini tidak terjadi pada Joko Widodo Si Pecandu Kekuasaan. Menjelang ajal kekuasaanya itu, semakin membuat kegaduhan dengan langkah-langkah blunder yang telah melanggar konstitusi. Memanfaatkan sisa kekuasaan dan pengaruhnya agar dilakukan oleh penerusnya sebagai bentuk balas budi yang diharapkan.

Pada 20 Oktober 2024 adalah masa berakhirnya kekuasaan Jokowi. Ini menandai sepeuluh tahun lamanya pemerintahan Jokowi dilaksanakan. Dalam masa itu banyak hal yang dilakukan Jokowi yang berpotensi terjadinya pemecah belahan bangsa.

Jargon Jokowi “Saya Pancasila, Saya Indonesia“ sebuah jargon menanam benih-benih permusuhan dan perpecahan, seolah mereka ini yang tak sepaham dengan jargon itu dianggap sebagai musuh Pancasila dan musuh negara. Jokowi tak segan untuk memberangus dan membungkamnya. Kasus KM 50 adalah contoh nyata.

Sepuluh tahun berlalu sejak Joko Widodo pertama kali menduduki kursi tertinggi di republik ini. Pada awalnya, Jokowi muncul sebagai sosok sederhana yang membawa harapan perubahan – seorang pemimpin dari rakyat yang menjanjikan era baru dalam politik Indonesia.

Namun, seiring berjalannya waktu, kepemimpinannya menunjukkan gejala yang tak bisa diabaikan; hasrat yang tampak tak terpuaskan untuk terus memperluas pengaruh, dan bahkan ketika masanya seharusnya mendekati akhir. Bukan hanya keluarganya tapi juga antek-anteknya didorong untuk menjarah kekuasaan dengan caranya yang menggunakan instrumen hukum dan kekuasaan.

Hal lain yang dilakukan adalah, Jokowi tak ingin siapapun yang berada di lingkar luar kekuasaanya, apalagi berpotensi mengancam masa depan kekuasaan diri, keluarga dan kroninya, maka tak segan dirinya melakukan upaya-upaya untuk menghabisi. Dan ini yang terjadi pada Anies Baswedan.

Dengan segala daya dan upayanya, Jokowi melakukan apapun untuk menghadang meski itu jelas melanggar konstitusi. Jargon cawe cawe Jokowi tentang pilpres masih terngiang di telinga kita, dan perubahan usia capres dan cawapres serta usia cakada tak lepas juga dari pengaruhnya. Semua dihalalkan untuk memuluskan kerakusan kekuasaanya.

Untungnya melalui Putusan MK yang masih mempunyai nurani keputusan itu direvisi melalui melalui Putusan MK Nomor 60 dan 70 tentang batasan usia calon kepala daerah. Menghadapi putusan itu, Jokowi tak tinggal diam.

Maka melalui kekuatan yang ada di DPR yang bisa dikendalikan melalui partai politik KIM, berupaya menggagalakn putusan itu, tetapi sayangnya upaya itu menghadapi perlawanan rakyat, mahasiswa, buruh, profesional dan pelajar. Sehingga mereka balik kanan untuk menerima putusan MK tersebut. Berbagai dalih dilakukan untuk cuci tangan membersihkan dirinya seolah tak terlibat.

Kerakusan Kekuasaan dalam Balutan Dinasti

Seperti seorang pecandu yang tak mampu melepaskan diri dari kecanduannya, Jokowi perlahan-lahan terlihat membangun kekuasaan yang terikat erat dengan keluarganya. Politik dinasti, yang seharusnya menjadi kisah masa lalu di negeri ini, kini dihidupkan kembali dengan cerdik.

Di tengah janji-janji reformasi yang dielu-elukannya itu, publik menyaksikan bagaimana anak dan menantunya, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, melangkah ke panggung kekuasaan, menempati posisi strategis sebagai Walikota di Solo dan Medan.

Banyak yang bertanya, apakah ini sekadar kebetulan, atau ada motif yang lebih dalam? Tak sedikit yang meyakini bahwa ini adalah upaya untuk memastikan bahwa kekuasaan, yang selama ini telah berada dalam genggaman Jokowi, tetap berada di dalam lingkaran keluarganya.

Politik dinasti ini menunjukkan wajah baru dari kerakusan kekuasaan – bukan lagi sekadar soal memperpanjang masa jabatan, tetapi juga memastikan bahwa kekuasaan tersebut diwariskan, dipertahankan dalam lingkup yang sempit.

Langkah ini, bagi banyak orang, adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang seharusnya menjadi fondasi utama dari kepemimpinan Jokowi. Reformasi yang digagas dengan tujuan memutus mata rantai kekuasaan yang berpusat pada individu atau keluarga tertentu kini tampaknya terkikis oleh ambisi yang sama.

Dinasti politik bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan tersebut digunakan untuk memperkuat cengkeraman, bukan untuk rakyat, melainkan untuk keluarga.

Dalam perjalanan kekuasaannya yang semakin mendekati akhir, pertanyaan besar yang tersisa adalah: bagaimana sejarah akan mencatat Jokowi? Apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membawa perubahan nyata dan reformasi, atau sebagai sosok yang tak mampu melepaskan diri dari godaan kekuasaan yang berujung pada politik dinasti?

Menjelang "ajal" politiknya, Jokowi tampak seperti seorang pecandu kekuasaan yang tak siap untuk menghadapinya. Alih-alih mewariskan warisan reformasi yang kuat dan mandiri, ia memilih jalan yang mendukung keberlanjutan kekuasaan dalam lingkaran keluarganya.

Sebuah keputusan yang tidak hanya merusak citra dirinya, tetapi juga menodai harapan banyak orang akan masa depan politik Indonesia yang lebih adil dan demokratis.

Menjelang akhir kekuasaannya, tentu saja suasana batin Jokowi mengalami kecemasan dan suatu kekhawatiran, penuh dengan ketidak pastian tentang jaminan keselamatan masa depan diri dan keluarganya.

Kecemasan itulah yang kemudian Jokowi melakukan sesuatu yang tanpa sadar akan menggerus legitimasinya dan berpotensi menjadi musuh rakyat dan musuh demokrasi. Ibarat orang yang kini menghadapi sakratul mautnya, terlihat gelisah dan cemas dan bahkan melakukan apapun yang di luar nalar.

Sejarah panjang reformasi akan mencatat dalam catatan kelamnya reformasi yang dikhianati dan demokrasi dikebiri. Kita berharap pemerintahan ke depan tak lagi mewarisi catatan kelam Jokowi. (*)