Penguasa Si “Hidung Panjang” Harus Dilawan
Tokoh aktivis 1970-an itu mengakhiri orasinya dengan kepalan tangan. Matanya bersinar. Energinya memancar menggerakkan jiwa-jiwa orang yang ada di dalam ruangan. Dada mereka mengembang. Niat dan tekad untuk menciptakan perubahan, tak bisa dicegah.
Oleh: Isti Nugroho, Aktivis Indonesian Democracy
SEMBILAN tahun bangsa kita terpukau dan tersihir oleh populisme seorang penguasa. Penguasa itu mendapat beberapa sebutan yang bernada ejekan. Misalnya, “Raja Jawa”, “Mukidi”, “Mulyono”, dan “Tukang Kayu” yang sukses menumbangkan “Pohon Beringin”. Majalah TEMPO menyebutnya “Pinokio Jawa” alias “Si Hidung Panjang”.
Setiap berbohong, hidung boneka yang jadi tokoh cerita fiktif itu – selalu bertambah panjang. Kini, kebohongan sang “pinokio jawa” itu sudah tak ketulungan.
Mungkin panjang hidungnya kini sudah melampaui bentangan jarak antara Aceh sampai Papua. Dengan kebohongan dan kekuasaannya ia merusak hukum, konstitusi, tatanan sosial, demokrasi, dan mengadu domba elemen masyarakat.
Semua itu dia lakukan demi bisa berkuasa selama-lamanya, bahkan ketika dia tidak memegang jabatan. Jalan nepotisme, politik dinasti, kronisme, politik sandera, dan cara-cara karitatif demi pencitraan sebagai penguasa yang peduli rakyat, telah membawa kesuksesan baginya.
Saat mau lengser, ia membutuhkan kasur busa, agar kejatuhannya tidak tragis seperti penguasa Orde Baru Soeharto. Ia pun menarik lembaga-lembaga sosial keagamaan, ormas, dan berbagai kelompok lainnya untuk jadi perisai dirinya saat menghadapi serangan dari musuh-musuh politik. Tentu, ia harus memberikan banyak upah, akses ekonomi dan berbagai konsesi pada pihak-pihak yang mau dijadikan bumper.
Kegelisahan Seorang Aktivis
Setelah membaca dan mempelajari banyak data dan fakta tentang berbagai penyimpangan “Si Hidung Panjang”, seorang aktivis demokrasi pun merenung. Resah. Gelisah. Kenapa “tiran” yang tampak lugu dan polos bisa seenaknya menggunakan hukum dan konstitusi untuk mengangkangi negeri ini? Padahal, dia tak sehebat Soekarno atau Soeharto.
Mengapa “Mukidi” atau “Mulyono” itu begitu kuat? Ada beberapa hal yang dibaca aktivis itu sebagai indikator “kuatnya” si Mulyono bin Mukidi tersebut.
Pertama, “Mulyono” dan tim suksesnya mampu menciptakan mitos tentang “keajaiban wong cilik dalam mobilitas vertikal”, sesuatu yang semula dianggap tak mungkin terjadi, karena tradisi terkait kekuasaan adalah tradisi elit. Dua kali pilpres, ia beruntung berhadapan dengan lawan dari kalangan elit, yang “cacat hukum” dan kental aroma represi Orde Baru. Sehingga ia pun menang.
Kedua, kesuksesan “Mulyono” menyihir rakyat dengan mitos sebagai orang bersih, baik dan jujur. Ini diwujudkan melalui berbagai langkah populistik ketika ia berkuasa. “Mukidi” menggunakan teknologi pesona melalui kerja para buzzer, influencer dan lainnya. Bahkan beberapa media mainstream pun ikut-ikutan menggelembungkan citra Mulyono.
Rakyat, yang pada umumnya gampang kagum pun, jatuh hati, meskipun akhirnya kecewa karena berbagai gimmick si “Mukidi” terbongkar.
Ketiga, “Mulyono” dan timnya mampu merekrut tokoh-tokoh simpul demokrasi yang sebelumnya terkenal kritis dan galak. Juga kalangan LSM, seniman, budayawan, dan kaum intelektual yang semula kritis.
Keempat, “Mulyono” mampu menyandera tokoh-tokoh politik dan parpol besar serta menengah yang punya masalah terkait korupsi. Karena itu, ia mampu menguasai 70 persen suara di parlemen.
Kelima, “Mulyono” didukung oligarki dan militer dalam menerapkan formula kekuasaannya, yaitu populisme otoritarian (gaya kerakyatan yang otoriter) atau legalisme otoritatif (memperlalat hukum untuk kekuasaan).
Keenam, kesulitan para aktor atau penggerak demokrasi di dalam melakukan kristalisasi sikap atas Mulyono sebagai musuh bersama, seperti pada era sebelumnya, di mana Soeharto dijadikan musuh bersama oleh pejuang-pejuang reformasi. Ini semua tidak lepas dari keterpecahan elemen-elemen demokrasi di ranah publik.
Rapat Besar
Aktivis demokrasi yang kini tidak muda lagi itu, mulai merasa perlu mengundang kawan-kawannya untuk menganalisis keadaan sebelum menggalang demonstrasi.
Hal itu dilakukan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke 64, tanggal 30 Juli. Mereka yang datang beragam, dari angkatan 1970-an, 1980-an sampai 1990-an. Dialog kritis itu diberi tajuk Menjaga Demokrasi Melawan Politik Dinasti.
Sebagai tokoh yang sudah berumur, dia menyadari tak mungkin kembali berdemonstrasi. Tokoh kita pun memilih berada di belakang layar. Tentu dengan seluruh konsekuensi yang harus dijawabnya, seperti gagasan, dana, rekrutmen demonstran, dan lainnya. Massa mahasiswa, buruh, kaum miskin kota dan pemuda dikerahkan untuk bergerak melakukan demonstrasi.
Acara pun berlangsung hangat. Penuh semangat. Tokoh kita membuka dialog dengan mengatakan, “Kenapa ulang tahun saya kali ini diperingati dengan demonstrasi? Karena saya membaca, melihat dan merasakan bahwa kaum intelektual, seniman dan sebagian rakyat (Indonesia) marah terhadap pemerintahan Si Hidung Panjang.”
“Mereka marah terhadap penguasa karena di akhir masa jabatannya (tersebut), Si Hidung Panjang memperlihatkan konsentrasinya membentuk dinasti politik, demi keluarganya bisa terus berperan dalam mengatur keberlangsungan kekuasaan.”
“Setelah anaknya yang berbau asam sulfat digandeng oleh pemimpin demagog yang kepingin jadi presiden, dan anak bungsunya dijadikan ketua umum partai. Mumpung kuasa, ada banyak jalan menjadikan anaknya berkuasa dan eksis di republik ini. Apa saja dilakukan sesuai kemauannya.”
Si Hidung Panjang tidak mau mendengarkan nasihat sahabat, kawan seperjuangan maupun pembantunya yang dulu dibawa dari kampung. Si Hidung Panjang lebih memilih sekutu baru. Meninggalkan semua yang pernah berjasa membantunya. Yang tidak mau ikut bersamanya lagi membantu keluarganya merebut tampuk kepemimpinan nasional dibuangnya, ditinggalkannya.
Selain ingin menggulingkan kekuasaan Si Hidung Panjang, tokoh kita ini juga gigih menjaga demokrasi. Kalau demonstrasi yang digerakkan gagal, dia tetap berhasil menjaga demokrasi. Karena penentangannya pada rezim merupakan komitmennya pada demokrasi.
Demokrasi merupakan target, menggulingkan kekuasaan rezim Si Hidung Panjang merupakan tujuan. Kalau tujuannya tidak tercapai, targetnya sudah “kena”, yakni menjaga demokrasi.
Mendadak sahabat tokoh kita yang bertubuh gemuk mulai berbicara, “Saya kok pesimis kita bisa menggulingkan rezim Si Hidung Panjang”, karena menurut survei dia didukung 70 persen rakyat,” kata si Gendut.
Si Kurus merespons, “Keberhasilan perjuangan kita tergantung pada militansi demonstran. Kalau demonstran yang kita galang militan dan siap chaos serta mampu bertahan sampai tuntutan kita tercapai, maka demonstrasi berhasil. Tapi kalau demo hanya dijalankan sebagai layaknya karnaval atau festival, maka kita jangan berharap hasilnya maksimal. Sekarang demo hanya dilihat sebagai penanda eksistensi saja. Bahkan sering hanya jadi ajang selfie.”
“Betul,” tegas tokoh kita. “Kita akan nggetih. Kita siap berdarah-darah. Kita akan terus melakukan demo sampai Si Hidung Panjang kita ringkus dan adili. Massa kita akan menyeret dia ke tiang gantungan. Walaupun tradisi berdemokrasi tidak ada hukum gantung, mulai kali ini akan kita tradisikan. Agar penguasa takut pada keputusan rakyat. Bukan keputusan penguasa yang seenak pusarnya (wudel: Bahasa Jawa) sendiri. Saya yakin yang 70 persen akan berbalik mendukung kita. Begitu kebiasaan orang awam dalam berpolitik. Mereka hanya ela-elu. Tergantung pada ke mana angin bertiup.”
Seorang ibu yang kehilangan anaknya, diculik rezim Orde Baru berkata, “Kita harus optimis. Rezim ini pasti jatuh. Apalagi dengan totalitas kesiapan dan kesediaan kita berjuang. Dan, tokoh kita kali ini tidak main-main. Ia telah menyiapkan dana, tenaga dan pikiran untuk kita semua.”
“Yang membanggakan saya, tokoh kita beranggung jawab. Menanggung seluruh resiko kegagalan dan keberhasilan kita semua.” Ibu itu berkata sembari mengusap air matanya, terbayang anaknya yang hilang.
Orang dari angkatan 70-an, berdiri dari tempat duduknya. Sambil memegang botol bir ia tampil tenang dan berwibawa. Dia pun berkata, “Saudara-saudara ingatlah, kita memang digolongkan yang 30 persen dari seluruh penduduk yang 100 persen itu. Tapi kita yang minoritas ini, tahu kebenaran, sedang yang lain tidak. Rakyat yang banyak hanya diam.”
“Mereka akan berbalik mendukung kita yang tahu teori kebenaran dan keadilan. Percayalah. Kebenaran akan menang. Karena pada dasarnya “kebenaran” itu tujuan hidup semua orang. Walaupun kebenaran itu beraneka macam, itu toh kebenaran. Ada orang menganggap bahwa kebenaran itu satu. Absolut. Tunggal. Tetapi ada pula yang menyangkal itu. Bahwa kebenaran itu relatif.”
Ada yang mengartikan kebenaran atau benar itu berdasarkan pada kesesuaian antara perkataan dengan kenyataan. Perkataan pemimpin kita banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan.
“Contohnya si Mulyono itu, dia bilang tidak ikut cawe-cawe, tetapi merekayasa anaknya jadi wakil presiden. Dia juga merekayasa anaknya jadi pemimpin partai dan sebagainya. Untuk apa? Untuk membangun dinasti politik.”
Orang-orang diam. Hening. Namun sontak keheningan pun pecah, saat tokoh angkatan 1970-an ini bicara lantang, “Kita terus melawan politik dinasti itu sampai titik darah penghabisan. Karena kita cinta mati pada demokrasi. Ada yang mengartikan benar itu terdapat kait-mengkait logis yang kokoh dan tidak mengandung kontradiksi antar unsur-unsurnya. Pemimpin kita (itu) setiap berpikir selalu kontradiktif. Tidak konsisten dan mencla-mencle, khas omongan politisi busuk.”
“Ada yang mengartikan kebenaran sebagai nilai yang ada manfaatnya, berguna bagi hidup yang luas. Orang yang menganggap kebenaran yang seperti itu menolak diskusi yang nyinyir terhadap teori kebenaran. Preek ketek dengan teori kebenaran. Yang penting berguna bagi orang dan menyenangkan banyak orang.”
“Kita mungkin percaya bahwa benar itu soal bagaimana kita bisa meyakinkan, mempengaruhi dan mengubah pendapat orang lain, sedang kebenaran itu relatif. Benar itu juga tergantung pada siasat. Kita harus bersiasat dalam mensukseskan demonstrasi kita untuk tujuan orang lain. Ini merupakan gerakan yang berdampak. Beda dengan cara-cara pemimpin dan calon para pemimpin ke depan. Mereka hanya mementingkan pendukung, kelompok dan keluarganya sendiri.”
“Menampilkan anak-anaknya dan kerabatnya yang sebetulnya belum saatnya (jadi), tetapi dikarbit. Digelembungkan agar pantas. Anak-anak mereka nangkring, tanpa proses yang wajar. Langsung di posisi puncak.”
Tokoh senior yang pernah menggerakan demonstrasi besar-besaran pada tahun 70-an tersebut, meneruskan perkataannya. “Rencana demo kita ini tidak lepas dari ridho Tuhan. Kita minta yang salah disalahkan, yang benar dibenarkan. Apakah kita berpihak pada kebenaran Tuhan, kebenaran rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox populi Vox dei). Bukan semata kebenaran politik belaka, juga bukan kebenaran yang silang-sengkarut. Ridho Tuhan kita dambakan. Saya ingin demonstrasi yang kita rencanakan itu berkorelasi dengan eksistensi Tuhan.”
“Kenapa dalam rapat ini panjang lebar saya bicara tentang kebenaran. Sejak zaman Phytagoras, Socrates, Derrida, sampai Rocky Gerung, kebenaran didesakkan di ruang publik. Kita sekarang dan generasi mendatang akan terus mendesakkan kebenaran. Karena demo kita ini demo menegakkan kebenaran. Kebenaran itu ada penjelasannya. Demonstrasi yang kita rencanakan itu demo yang menyadarkan rakyat yang 70 persen (menurut Lembaga survei) menyukai si “Mulyono” itu. Ini telah menunjukkan, kita tidak sekadar berpolitik, tapi juga melakukan penyadaran politik atas kebenaran. Demo kita demo yang mencerahkan rakyat.”
Tokoh senior itu bicara tegas, “Penguasa Si Hidung Panjang alias di Mulyono, sudah menunjukkan kerakusannya di depan publik. Publik kita penuh genangan tangis; dari para cerdik pandai, kaum brahmana sampai intelektual seperti kita. Kalau kedunguan Si Hidung Panjang itu terus menjadi-jadi, ruang publik kita akan banjir darah. Darah akan tumpah di jalan-jalan, di pertokoan dan Mall. Prajurit kita rela mati syahid. Pemuda dan mahasiswa rela mengorbankan hidupnya hanya untuk demokrasi.” Saya senang sekali dengan teori disclosure. Teori kebenaran yang mencerahkan.
Setelah minum beberapa teguk bir, aktivis senior itu pun kembali bicara, “Saudara-saudara pecinta demokrasi yang sejati. Kawan seperjuangan dan para pemuda dan mahasiswa yang gandrung pada kebenaran. Kita memperjuangkan kebenaran dengan cara demo di ruang publik karena pemerintah sudah semaunya sendiri merusak demokrasi yang kita perjuangkan selama berpuluh-puluh tahun.”
Setelah demokrasi kita genggam melalui Reformasi 1998, penguasa baru yang tidak memiliki kontribusi konkrit justru membajak demokrasi demi kepentingan pragmatis mereka. Ini tidak lepas dari kenaifan anak-anak muda yang menyerahkan kekuasaan pada tokoh-tokoh bangsa, yang ternyata memiliki agenda sendiri-sendiri.
Akhirnya, seiring dengan menguatnya liberalisme ekonomi, demokrasi hanya jadi ajang jual beli jabatan dan kekuasaan. Termasuk kepentingan keluarga dan kroni-kroni penguasa. Demokrasi pun berjalan tanpa substansi nilai, sehingga ia kehilangan ruh-nya.
“Demokrasi secara substansial harus kita pertahankan. Karena demokrasi merupakan jawaban atas sistem otoritarian yang selalu digunakan penguasa untuk bertahan dan menindas rakyat. Dalam konteks itu, saya pernah membenturkan demokrasi dengan sistem yang otoriter. Pengorbanan jiwa dan raga harus saya bayar. Saya ditangkap dan diadili.”
Tumbuh dan menguatnya nilai-nilai demokrasi mampu menjadikan seluruh rakyat mengakses keterbukaan secara nyata, merata dan langsung. Juga mengakses dan menemukan alamat nilai-nilai kebenaran.
Berpegang teguh pada kebenaran dan ridho Tuhan, kita terus bergerak memerjuangkan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada kebebasan, kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, dan keadaban. Nilai-nilai demokrasi itu akan terus membesar dan menggelinding seperti bola salju yang mampu menggilas penguasa si Hidung Panjang.
Tokoh aktivis 1970-an itu mengakhiri orasinya dengan kepalan tangan. Matanya bersinar. Energinya memancar menggerakkan jiwa-jiwa orang yang ada di dalam ruangan. Dada mereka mengembang. Niat dan tekad untuk menciptakan perubahan, tak bisa dicegah.
Demonstrasi, pikir aktivis yang berulang tahun ke 64 itu, harus dilaksanakan. Ia yakin, Si Hidung Panjang akan tumbang, bukan impian. Tapi kenyataan. Karena itu, tokoh kita sang aktivis ini, selalu menghidupi gagasan dan ucapan dengan tindakan serta pengorbanan.
Ia percaya, perubahan adalah bahasa dan tanggapan semesta atas cita-cita ideal yang punya energi membuka segala kemungkinan. (*)