Politik Bermartabat Ala Politik Bermartabak dengan Selera Rasa
Terjun ke dunia politik praktis tanpa memulainya dari dalam diri sama saja dengan memperluas jangkauan korban kebuasan nafsu. Karena orang yang nafsunya mendominasi akal nuraninya adalah korban pertama dari kegagalan politik di dalam dirinya.
Oleh: Ozzy S. Sudiro, Ketum KWRI/Sekjen Majelis Pers
POLITIK secara harpiah bermakna kebijaksanaan.
Secara istilah, politik adalah suatu seni, teknik, dan strategi mengendalikan manusia oleh manusia dengan seni merangkai kemungkinan dengan suatu keajaiban, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin atau sebaliknya yang tidak mungkin menjadi mungkin demi kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan hidup manusia.
Langkah alphabetik kegiatan politik terbagi dua: internal dan eksternal.
Politik internal adalah politik adiluhung saat di mana seseorang memulai proses politik dari internal dirinya. Dia melihat bahwa dirinya adalah manusia paling dekat yang harus dikendalikan sebelum mencoba mengendalikan manusia-manusia di luar dirinya.
Baginya, politik pertama kali berperistiwa di dalam dirinya di mana akal nurani dan ego-dirinya tengah saling rebut pengaruh dan Kekuasaan di dalam pemerintahan dirinya.
Baginya pula, setiap tarikan dan hembusan napas adalah politik. Setiap saat terjadi saling rebut kekuasaan antara akal dan nafsu libido kekuasaanya.
Saat akalnya sudah bisa menguasai nafsu libidonya maka barulah ia melangkah ke politik eksternal, politik praktis.
Hal itu berbeda apa yang sesungguhnya terjadi politik direpublik ini, faktanya akhir akhir ini, lagi-lagi rakyat dibikin kaget bukan kepalang, dikejutkan atas peristiwa politik di negeri konoha dimana bocah kecil, "bocil" penjual martabak ternyata hanya kamuflase semata.
Tipu daya atas putra baginda raja yang sudah disulap para budak penjilat, politikus busuk bermental jongos penuh berakrobatik seperti badut-badut yang dengan menyuguhkan martabak manis dengan selera rasa sebagai tontonan menarik, rakyat digiring ke pertandingan menang dan kalah tetaplah resah.
Di meja pertaruhan kuasa, di negeri bermuka tebal, suara rakyat dibuat senyap, para polikus busuk mereka telah menjarah di meja musyawarah, yaitu kaum licik bertopeng pembebas mulai menyulap kotak ajaib dari suara rakyat menjadi suara tuan, perintah tuhan menjadi perintah tuan, hingga bisa terperangkap atas permainan baginda Raja Mulyono teh botol Sostro di meja ada tahu-tempe ngga kebagian keris alias Raja Jawa imitasi KW2.
Sabdo Pandito Ratu atas perintah sang raja di negeri Konoha semua berjalan mulus oleh akal bulus dan rakus atas kekuasaannya, mengubah semua tatanan hukum, etika, dan moral dengan mudah memutarbalikkan dan memporak-porandakan sistem demokrasi yang mulai tertata rapi terbangun warisan pejuang reformis kandas di tangan-tangan iblis.
Inilah negeri berdarah hutang hingga keadilan diobral harga murahan. Cakwe-cakwe makanan khas negeri Tiongkok kiriman "hopeng" alias kawan yang dermawan sekaligus sebagai pemberian upeti gratifikasi dengan konvensasi menjual kedaulatan NKRI dengan menghalalkan segala cara etika-moral dan kepatutan, strategi membangun moral budak tercipta. Sehingga berujung mengusik rasa keadilan kaum proletar yang terancam lapar
Kini tabir mulai terungkap oleh para budak penjilat yang mulai bersuara tobat sambel petir, yang setia mulai berhianat hingga raja ketar-ketir, yang patuh kini mulai membangkang menusuk dari belakang, hingga abdi-dalem yang mulai meninggalkan pada penghujung tahta kekuasaan.
Bau busuk mulai menyengat hingga ke pelosok negeri, atas perbuatan dan dosa di masa lalu tanpa sedikit rasa malu, dengan jargon pembangunan jadi mantra pembius, dalam tirani rakus dan haus, antara istana impian dan istana kuburan
Terjun ke dunia politik praktis tanpa memulainya dari dalam diri sama saja dengan memperluas jangkauan korban kebuasan nafsu. Karena orang yang nafsunya mendominasi akal nuraninya adalah korban pertama dari kegagalan politik di dalam dirinya.
Ketika sebagai korban dan pecundang di hadapan nafsunya, dan saat ia melangkah ke dunia politik praktis maka bisa dipastikan ia sedang memperluas jangkauan pengaruh nafsunya sejauh pengaruh kekuasaan yang dikangkanginya.
Jangan biarkan Ibu Pertiwi menangis meratapi anak negeri. (*)