Tidak Sudi Dijajah China (12)
Bersama dengan tumbangnya Orde Baru, maka etnis China (anak cucu Kubilai Khan) menemukan momentumnya semasa era Presiden Joko Widodo, politik dan ekonomi negara total dikuasai dan dikendalikan para Taipan Oligarki etnis China.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
KAUM pribumi bangkit dan bersatulah, di depanmu pilihan hidup atau mati.
Adagium Thucydides, sejarawan Yunani kuno mengatakan bahwa “strong will do what they can, and the weak suffer what they must", artinya yang kuat akan berbuat sekehendaknya, yang lemah harus menderita.
Ada apa dengan "Kaum Pribumi", merekalah yang mengawali lahirnya Indonesia melalui Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, sambil mengumandangkan Patriotisme: Berbangsa, Bertanah Air dan Berbahasa satu "Indonesia".
Dalam kancah dunia Internasional disebut Indigenous People (penduduk asli). PBB dalam sidang umumnya tanggal 13 September 2017 mendeklarasikan hak-hak penduduk asli (Boemi Poetra) disetujui 143 negara, termasuk Indonesia.
Pada era reformasi ada upaya untuk menghapus sejarah bangsa sendiri, padahal sesungguhnya mereka adalah para Pahlawan Bangsa. Kita dilarang nyebut "Pribumi". Untuk kepentingan siapa. (Inpres dikeluarkan Presiden BJ Habibie Nomor 26 tahun 1998).
Eksistensi bumi putra beruntun diporak-porandakan dan akan dibunuh oleh pemimpin bangsa kita sendiri.
Dari kasat mata kita menyaksikan sejak reformis dominasi etnis China di perkotaan terus meningkat dan era Presiden Jokowi merambah masuk di semua wilayah (hingga pedesaan).
Tapak sejarah pada tahun 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Isinya melarang mereka berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten.
Akibat PP 10/1959, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri leluhur. Untuk itu, pemerintah RRC sengaja mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut mereka ke daerah China. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRC ini baru bisa diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan PM Zhou Enlai yang sengaja datang ke Jakarta.
Di masa Presiden Suharto etnis China ditutup tidak boleh masuk dalam urusan "Politik Negara". Momentum sejarah terburuk terjadi, mereka saat ini tidak hanya menggeluti bisnis, tetapi sudah leluasa masuk ruang politik, budaya, sosial, LSM, bahkan ormas.
Gong reformis yang sudah berumur dua dekade telah mengubah lanskap politik yang eskalasinya tidak berpihak kepada kaum Boemi Poetra semakin parah. Reformasi justru memutar arah jarum jam sejarah kembali ke belakang.
Masing-masing jaman merasa memiliki jalannya sendiri sendiri tanpa alamat yang jelas, terlebih setelah UUD 1945 diganti dengan UUD 2002, negara langsung berubah menjadi kapitalis dominan yang dikuasai taipan kapitalis China.
Siklus lima tahunan dikendalikan para bandar, bandit, dan badut politik serta ekonomi yang sudah menguasai Nusantara. Partai politik berubah menjadi kacung, budak, dan boneka oligarki berebut mengais Angpao
Lembaran sejarah berbelok arah lepas dari benteng pengaman UUD 1945 dan Pancasila dengan kepentingan, tujuan dan arah negara yang berbeda. Siapa skenarionya, siapa yang berkepentingan dan siapa yang diuntungkan.
Bersama dengan tumbangnya Orde Baru, maka etnis China (anak cucu Kubilai Khan) menemukan momentumnya semasa era Presiden Joko Widodo, politik dan ekonomi negara total dikuasai dan dikendalikan para Taipan Oligarki etnis China.
Benturan peradaban sedang berlangsung tanpa kita sadari seperti Barongsai melawan Reog pasti akan melahirkan siapa yang menang dan siapa yang akan tumbang
Melihat, mencermati apa yang sedang terjadi untuk menyelamatkan kaum Pribumi hanya ada satu jalan untuk memenangkan pertempuran yaitu Kembali ke UUD 1945. Resiko juga ada pada dua pilihan: menang, negara kembali normal atau kalah, negara akan hancur lebur, cepat atau lambat kaum pribumi akan musnah dari Nusantara. (*)