Tidak Sudi Dijajah China (15)
Bukan sekadar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan etnis China juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan. Terlebih setelah beternak penguasa berjalan mulus defacto sebagai penguasa Indonesia.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
INDONESIA Darurat!
Dalam sejarah perjalanan politik di Nusantara sejak era Kolonial etnis China adalah bagian dari penjajah. Sejarah tersebut sangat dipahami oleh Soekarno maka sepanjang Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno, warga China sangat dibatasi dalam pergaulan politik, ekonomi dan hukum.
Diawasi, dikendalikan, dan dikontrol sangat ketat, Presiden Soekarno sampai mengeluarkan PP Nomor 10 Tahun 1959 yang berisi melarang warga China melakukan kegiatan ekonomi masuk di pedesaan. Begitupun eksistensi keturunan China dalam politik dan pemerintahan, Soekarno tidak memberi kesempatan dan panggung untuk mereka.
Soekarno dan Soeharto sama-sama membatasi warga China, baik dalam soal keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Begitupun dalam soal ekonomi dan politik, termasuk membatasi etnis China dalam wilayah pemerintahan.
Paska peristiwa G 30 S PKI warga China semakin dikekang dengan Inpres Nomor 14 Tahun1967 tentang larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Orde Baru mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengendalikan dan mengawasi gerak-gerik etnis China. Bahkan pergerakan masyarakat China di kontrol melalui Badan Koordinasi Masalah China (BKMC).
Soekarno maupun Soeharto menganggap, etnis China masih berorientasi pada negeri leluhurnya. Masih sangat eksklusif, primordial dan sektarian. Etnis China merupakan masyarakat yang memiliki kultur agresif dan ofensif secara ekonomi dan politik. Sehingga, rezim pemerintahan keduanya melakukan proteksi masyarakat pribumi dari ancamannya etnis China.
Pengawasan dan pengendalian terhadap etnis China mulai di jebol pada masa pemerintahan Habibie keluar Inpres dikeluarkan Presiden BJ Habibie Nomor 26 tahun 1998 kita dilarang nyebut "Pribumi".
Beruntun pada masa pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) eluar Keppres Nomor 6 Tahun 2000, menghapus apa yang dianggap sebagai diskriminasi terhadap etnis China.
Beruntun rezim sesudahnya berlomba menjadi budak etnis China dan puncaknya pada rezim Joko Widodo lebih sempurna menjadikan boneka sembilan naga.
Benar apa yang telah dikhawatirkan Soekarno dan Soeharto tentang pembatasan ruang gerak etnis China di Indonesia. Tak cukup terkait betapa kuatnya kesetiaan pada negara leluhurnya. Kehadiran etnis China sebagai penghianat sudah terjadi sejak masa pergerakan kemerdekaan, pergolakan dan situasi genting NKRI dalam Orde Lama, Orde Baru, dan Orde selanjutnya.
Bukan sekadar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan etnis China juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan. Terlebih setelah beternak penguasa berjalan mulus defacto sebagai penguasa Indonesia.
Etnis China yang minoritas sudah berhasil menguasai rakyat mayoritas. Saat ini sudah pada puncak kekuasaanya, dan bahkan dengan jumawa mereka berhasil membeli jabatan presiden di Indonesia. Semakin kuat posisinya menjadi "inner circle" kekuasaan penyelenggaraan negara.
Prabowo Subianto tidak ada jaminan akan bisa keluar dari "inner circle" karena kekuasaan yang dimiliki hakekatnya milik sembilan naga.
Sama dengan Presiden Jokowi tidak lebih hanya sebagai pelaksana (boneka) kebijakan sembilan naga. "Indonesia darurat benar-benar sudah terjadi".
Kemarahan rakyat sudah menyatu dengan geramnya mahasiswa sudah pada titik klimaks, hanya ada satu jalan, yaitu "Revolusi untuk menghentikan, menghukum, dan membersihkan mereka para penghianat negara". (*)