Tidak Sudi Dijajah China (7)
Para pendiri bangsa di alamnya menangis melihat penguasa saat ini dengan sombong dan teganya menenggelamkan, mencabik-cabik, menghancurkan tujuan dan cita negara. Malah bangsa sebagai budak oligarki.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PINTU kehancuran sudah di depan mata. Kemunduran, keruntuhan dan kehancuran peradaban di Nusantara merupakan cermin dari benturan peradaban yang di alami setelah masing masing berada pada masa kejayaan, kemudian gagal menghadapi masa krisis dan kritis.
Masing masing memiliki zona waktunya sendiri, keterkaitan dengan tanda-tanda akan terjadinya kemunduran, kejatuhan, dan kehancurannya.
Para sejarawan akan merujuk kejadian masa lalu dan masa kini akan dilihat ciri, bentuk, karakter, simbol-simbol yang muncul dan sedang terjadi.
Tidak akan ada satupun negara akan eksis secara sempurna, kecuali ditegakkan oleh pemerintah (penguasa) yang mendukungnya. Sebaliknya, apabila penguasa justru ikut merongrong, maka kemunduran, kejatuhan, dan kehancurannya akan berjalan lebih cepat.
Bangsa Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang digali dari peradaban dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri dan bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia, dihancurkan oleh penguasa yang buta sejarah.
Akan menjadi saksi sejarah negara akan terus dalam kesulitan, berujung kegelapan, kemunduran, dan kehancurannya.
Indonesia sudah terjebak praktik politik liberalisasi. Pertarungan pemikiran, politik, ideologi antara penikmat pro liberalisasi dan kembali ke UUD 1945 tiada henti semakin tajam, keras seperti tidak akan ada titik temu. Itulah tanda tanda kehancuran yang nyata.
Itu terjadi akibat hegemoni kekuatan yang maha dahsyat kekuatan kapitalis dengan kekuatan oligarki dan RRC (China) yang makin membesar dan kuat menancapkan tajinya di Indonesia.
Dalam kajian hancurnya peradaban baik oleh Toynbee dan Ibnu Khaldun, datang, proses kejadiannya bukan dari luar tetapi lebih dominan dari dalam diri sendiri.
Tanda-tandanya akan kelihatan dan ditampakkan dari pola hidup para penguasa yang hedonis, hidup mewah, mementingkan diri, dan dinastinya. Terus berbohong sampai di puncaknya akan menjual kedaulatan negara.
Negara yang telah hancur pasti di tandai pejabat/penguasa yang rakus mencari kekayaan secepatnya dengan segala cara, kemewahan dunia, tindakan amoral, pelanggaran hukum, penipuan, berjudi, menggelapkan dan suka melanggar sumpahnya.
Kehancurannya di ciptakan sendiri oleh penguasa zalim menciptakan kondisi layak kalah dan hancur (al-qobiliyah lil-hazimah).
Pada 11 Agustus 1951 Masehi, Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia ke-5, menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut". Tampaknya negara ini akan hanyut.
Para pendiri bangsa di alamnya menangis melihat penguasa saat ini dengan sombong dan teganya menenggelamkan, mencabik-cabik, menghancurkan tujuan dan cita negara. Malah bangsa sebagai budak oligarki.
Tanda-tanda kehancuran sudah di depan mata, tergantung pada pemimpin dan penguasa, semua akan terjadi ketika:
Penguasa sudah tuli; Taipan oligarki itu penjajah negeri ini; Taipan kapitalis dianggap Nabi; Apa kalian sudah buta hati; Jangankan pedoman konstitusi; Semua sudah dikebiri; Tuhan pun sudah tidak ditakuti; Kalian penguasa berbau PKI; Bangsa ini tidak sudi dijajah oligarki. (*)