Anggota DPD Arya Asal Bali Pernah Lecehkan Agama Hindu, Kini Nista Islam

Sesuai pasal 156a KUHP, Arya berpotensi dipenjara selama 5 tahun, ungkapannya sudah masuk, memenuhi unsur perbuatan pidana yaitu: "pelecehan, merendahkan terhadap suatu ajaran agama yang dianut di Indonesia, serta dinyatakan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik".

Oleh: Juju Purwantoro, Advokat Senior

PERMOHONAN maaf yang diutarakan Anggota DPD RI dapil Bali, Arya Wedakarna, pada Selasa (2/1/2024), perihal dugaan penistaan ajaran agama Islam tentang pemakaian hijab bagi muslimah, tidaklah menghapus unsur tindak pidananya begitu saja.

Apalagi Arya sebagai pejabat negara (anggota DPD RI) sudah beberapa kali melakukan perbuatan pidana serupa, berupa kasus pelecehan agama.

Beberapa kasus provokasi dan penistaan agama yang pernah dilakukannya antara lain;

Adanya unras masyarakat, di Denpasar, Bali, pada 28 Oktober 2020, karena sangat tersinggung dengan pelecehan yang dilakukan oleh Arya terhadap sosok Ratuniang Ratugede yang dihormati masyarakat Bali.

Hampir terjadi konflik massa di kampung Muslim di Candi Kuning Bedugul, Tabanan. Saat Arya menyatakan "harusnya di Bedugul yang jualan itu pedagang bakso babi, pernyataan tersebut dia ungkapkan karena banyaknya pedagang bakso daging sapi beragama Islam di Bedugul".

Pada instagramnya, @aryawedakarna, 30 Juli 2023, Arya mengunggah; “Mulai sekarang, rakyat Bali harus dukung keberadaan makanan dari BABI. Sudah cukup Bali dijajah dari segi ekonomi". “Sadarlah umat Hindu, agama dan budaya Bali akan bertahan jika ekonominya bergerak. Perbanyak warung-warung Babi di seluruh pelosok, penuhi kantin-kantin di sekolah dan kantor pemerintah dan perusahaan dengan Babi GULING".

Arya juga pernah didemo di Denpasar, Bali, pada 28 Oktober 2020, lantaran diduga melecehkan simbol agama yang disucikan masyarakat Hindu, yaitu "Ida Bhatara Dalem Ped yang ber-stana di Pura Dalem Ped", Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida.

Sebagai negera hukum, harus menerapkan "prinsip similia similibus", (kasus yang serupa harus diproses dengan kaidah hukum yang sama). Upaya tersebut penting, untuk memberikan efek jera (deterrent effect), sehingga perbuatan serupa tidak akan terulang lagi.

Lagi-lagi Arya berulah dengan ungkapannya, di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada Jum’at (29/12/2023) yang menimbulkan polemik dan berdampak secara subtansi hukum (legal substancial) dan aspek keagamaan (religious aspects).

Arya mengatakan antara lain; "Saya gak mau yang front line, front line itu, saya mau yang gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan terbuka. Jangan kasih yang penutup, penutup gak jelas, this is not Middle East. Enak aja Bali, pakai bunga kek, pake apa kek".

Perkataan Arya (subyektif); "gadis yang pakai penutup, penutup gak jelas". Ungkapan itu jelas-jelas menunjukkan sikap tendensius dan arogan.

Tampak sikap kebencian dan diskrimintaif juga ditunjukkannya dengan mengatakan; "this is not Middle East". Apa lagi dengan menambahkan "penutup kepala _gak _jelas".

Hal itu tentu bisa ditafsirkan (konotasi) bagi perempuan muslim berpenutup kepala (hijab), jadi tidak jelas, lalu apa maksud dan tujuan perkataannya tersebut, menghina atau mencela? Bagi umat perempuan muslim, seperti ditentukan dalam Al Qur'an, pemakaian hijab adalah ajaran yang jelas dan tegas.

Unsur penodaan, penistaan agama bukanlah "delik aduan", jadi penyidik harus segera bertindak memanggil dan memeriksa Arya.

Sebagai anggota legislatif (DPD RI), tindakan penistaan agama tidak terkait dengan hak munitas (kekebalan). Tentang hak WN memeluk agamanya masing-masing, konstitusi pasal 29 UUD 1945 (ayat 2); "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Sesuai pasal 156a KUHP, Arya berpotensi dipenjara selama 5 tahun, ungkapannya sudah masuk, memenuhi unsur perbuatan pidana yaitu: "pelecehan, merendahkan terhadap suatu ajaran agama yang dianut di Indonesia, serta dinyatakan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik".

Sebagai WNI, juga dilindungi HAM dalam memeluk agamanya, sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat (1); “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. (*)