Anwar Usman Terpilih sebagai Ketua MK oleh Mafia Negara Sejak 2023 – 2028

Pertanyaan investigatif adalah mengapa ketiga lembaga negara tersebut membiarkan nama Anwar Usman tetap terdaftar sebagai hakim MK. Walau pejabat pada ketiga lembaga tersebut mengetahui Anwar Usman telah melanggar kode etik hakim MK?

Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212

SEBELUM menikahi Idayati adik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada April 2022 banyak publik dari kalangan masyarakat hukum dan Masyarakat Pemerhati Hukum yang menyarankan dan mengkritisi agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman segera mengundurkan diri karena melanggar kode etik Hakim Mahkamah Konstitusi.

Alasan etika dan moral akan terjadi konflik interest antara jabatan selaku profesi sebagai Hakim MK dengan kepentingan pribadi atau keluarga. Oleh sebab semua objek perkara yang mayoritas adalah kepentingan Jokowi selaku Presiden RI dan DPR RI.

Disebabkan, kedua lembaga negara tersebut merupakan produsen dan pengesah undang-undang dan produk undang-undang tersebut menjadi objek perkara, sehingga kedua lembaga tersebut yang nota bene sebagai pihak yang berkepentingan serta menjadi pihak yang terkait, selain tentunya juga sebagai pengguna undang-undang atau pelaksana objek perkara.

Tapi, Anwar Usman ternyata kemaruk, semuanya diborong, cinta berikut nafsu syahwat dan jabatan sebagai Hakim MK.

Terbukti walau menikahi adik Presiden Jokowi, Idayati, di Solo, Jawa Tengah, Kamis, 26 Mei 2022 sampai saat ini Anwar Usman bergeming untuk mengundurkan diri. Walau dirinya memang tak bisa dicegah menurut ketentuan syar'i, yakni menikahi Idayati, tapi mestinya jentelmen, seharusnya wajib mengundurkan diri sebagai hakim MK. Dan, menyampaikannya melalui surat kepada Presiden atau DPR RI atau kepada Mahkamah Agung, paling tidak sehari sebelum akad nikah, Rabu, 25 Mei 2022.

Di luar daripada attitude selaku pribadi, Anwar Usman yang menjabat sebagai Ketua MK sejak 2018 – dan seharusnya berakhir pada Maret 2023. Tragis, jabatannya yang berakhir malah dipilih kembali sampai dengan 2028.

Adapun mekanisme pemilihan dilakukan kepada sembilan orang hakim konstitusi yang pemilihnya terdiri dari 3 lembaga negara, yaitu 3 (tiga) orang hakim oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung.

Pertanyaan investigatif adalah mengapa ketiga lembaga negara tersebut membiarkan nama Anwar Usman tetap terdaftar sebagai hakim MK. Walau pejabat pada ketiga lembaga tersebut mengetahui Anwar Usman telah melanggar kode etik hakim MK?

Kok malah terpilih, dan kemudian membiarkan ditetapkannya Anwar Usman kembali sebagai Ketua MK melalui Keputusan MK Nomor 4 Tahun 2023 dengan masa jabatan 2023 – 2028.

Sehingga dari jejak digital Anwar Usman dapat dipastikan, ketiga lembaga negara tersebut, turut bertanggung jawab atas kerusakan moralitas keadilan serta kepastian hukum mahkamah konstitusi tersebut. Serta tidak keliru jika perpektif publik yang menyatakan bahwa Anwar Usman dipilih oleh para mafia penyelenggara pemerintahan negara.

Maka implikasi subjektifitas publik dan masyarakat kalangan hukum, yang perspektif, bahwa indikasi vonis MK terkait batas usia di bawah 40 bisa menjadi capres/cawapres pada pemilu 2024 subtansial vonis semata demi kepentingan Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi, dan vonis itu dituding penuh intrik politik demi kepentingan hukum dan kekuasaan Jokowi dan keluarga, juga kroni serta oligarki, selepas masa bakti presiden. (*)