Gibran Menjadi Cawapres dari Hasil Putusan yang Tak Beretika, Sewajarnya MK Membatalkannya

Karena itu, setelah putusan MKMK ini, setelah bersama-sama Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan 90 ke MK, saya mempertimbangkan untuk menggugat pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, ini ke sengketa proses di Badan Pengawas Pemilu RI.

Oleh: Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner Integrity Law Firm, Registered Lawyer di Indonesia dan Australia

SAYA dapat memahami, menghormati, tetapi pada saat yang sama juga menyesalkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Memahami, karena Majelis Kehormatan punya keterbatasan kewenangan, tetapi menyesalkan karena Profesor Jimly Asshiddiqie melepaskan kesempatan mengukir sejarah membuat putusan monumental (landmark decision) yang menegakkan kembali hukum Indonesia yang seharusnya bermoral dan berkeadilan.

Jika ada orang yang mempunyai kompetensi untuk menghadirkan keadilan konstitusional, maka sosok itu adalah Profesor Jimly Asshiddiqie – tentu bersama-sama dengan Profesor Bintan R. Saragih dan Yang Mulia Doktor Wahiddudin Adams. Karena itu, saya bersyukur dan menaruh harapan besar ketika mengetahui Profesor Jimly diberi amanah sebagai Ketua MKMK.

Kapasitas-intelektual Profesor Jimly jelas mumpuni. Integritas-moralnya nyata tidak bisa terbeli. Sayangnya, putusan MKMK masih terjebak hanya menghadirkan keadilan normatif, tetapi gagal melahirkan keadilan substantif. Sebenarnya hanya dibutuhkan inovasi hukum, dan sedikit bumbu keberanian, untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif dan konstruktif.

Hukum kita sudah sakit parah-sekarat. Menyembuhkannya tidak bisa dengan pengobatan biasa-biasa saja, tapi perlu operasi besar yang memang meniti di antara jurang kehidupan dan kematian. Saat jantung keadilan tersumbat total lemak kolesterol “akal bulus dan akal fulus”, maka harus ada tindakan akal sehat yang membelah dada, dan mem-bypass aliran darah itu, agar kembali lancar normal.

Sayangnya, MKMK masih melakukan tindakan pengobatan biasa, dan membiarkan penyakit kanker hukum yang koruptif, kolutif, dan nepotis, tetap hidup dan tumbuh subur-menjalar, merusak sendi-nadi Pemilihan Presiden 2024 kita.

Pertama; MKMK memilih menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK, padahal seharusnya pemecatan sebagai negarawan hakim konstitusi.

Karena alasan menghindari banding, MKMK memilih hanya memberhentikan Anwar Usman dari posisi sebagai Ketua MK. Padahal aturannya dengan jelas-tegas mengatakan, pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat. Lagipula ada konsep hukum acara, uitvoerbaar bij voorraad, putusan bisa tetap dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum banding.

Putusan MKMK yang demikian adalah setengah jalan, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman. Setelah dinyatakan terbukti telah melakukan pelanggaran berat, yaitu melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, masih adakah sisa harga diri dan rasa malunya untuk tetap bertahan.

Akan lebih pas jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi. Meskipun, terus terang saya tidak yakin, tindakan yang terhormat demikian akan dilakukan.

Kedua; MKMK tidak tegas mendorong Mahkamah Konstitusi Secara Cepat Memeriksa Kembali Syarat Umur Capres-Cawapres.

Dengan berlindung pada asas final and binding, MKMK membiarkan Putusan 90 yang dinyatakan lahir dari berbagai pelanggaran etika hakim konstitusi Anwar Usman tetap berlaku dan tidak dapat mempengaruhi proses pendaftaran Pilpres 2024.

Sambil secara tidak tegas, MKMK mengisyaratkan akan ada putusan atas permohonan baru terkait syarat umur capres-cawapres yang akan disidangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi.

Padahal, setiap asas hukum bukan kitab suci yang harus diberhalakan, apalagi dipertuhankan. Hukum selalu membuka ruang pengecualian, “exceptio probat regulam in casibus non exceptis“, the exception confirms the rule in cases not excepted. There is an exception to every rule. Selalu ada pengecualian atas setiap prinsip hukum.

Maka, jikapun tidak bisa menyatakan Putusan 90 tidak sah, paling tidak MKMK menyatakan dengan tegas dalam amarnya, agar Mahkamah Konstitusi memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tentunya sebelum berakhir masa penetapan paslon Pilpres 2024 oleh KPU.

Hal tersebut penting, justru untuk membuat pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak terus dipersoalkan karena hadir dari hasil putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika.

Menyatakan pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai dan aturan syarat tidak boleh lagi diubah, adalah tidak fair. Karena Putusan 90 sengaja dilakukan jauh terlambat, menjelang masa pendaftaran paslon. Maka, hanya menjadi fair, jika politisasi kelambatan waktu putusan 90 itu diseimbangkan dengan percepatan Putusan 90 tanpa hakim Anwar Usman yang melanggar etika.

Saya dan Zainal Arifin Mochtar sudah memasukkan uji formil atas Putusan 90, jika saja ada niat, maka tidak sulit untuk MK memeriksa cepat formalitas uji syarat umur capres-cawapres, dan memutuskan sebelum batas penetapan paslon capres-cawapres oleh KPU di tanggal 13 November 2023. Hanya dengan demikian maka legitimasi konstitusional dan soal keabsahan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka bisa dituntaskan.

Membiarkan Putusan 90 tetap berlaku, tanpa membuka ruang pemeriksaan kembali yang cepat, padahal ada Putusan MKMK yang mengatakan putusan itu dilahirkan dengan pelanggaran etika Anwar Usman, akan menyebabkan legitimasi pencawapresan Gibran akan terus-menerus dipersoalkan, bahkan membuka ruang impeachment, jikapun terpilih pada Pilpres 2024 yang akan datang.

Karena, putusan hukum yang hadir dengan pelanggaran etika, seharusnya batal moralitas hukumnya. “Leges sine moribus vanae“, laws without morals (are in) vain. Laws without morality are meaningless. Tegasnya, hukum tanpa moralitas, tidak ada artinya, dan karenanya batal demi hukum.

Jadi, Putusan MKMK belum tuntas menyelesaikan masalah. Masih menimbulkan komplikasi, akibat operasi dan solusi hukum yang setengah hati.

Sebagai satu-satunya pelapor yang mengajukan laporan jauh sebelum Putusan 90 dibacakan, dan Teradu dalam dugaan pelanggaran etika advokat yang dilaporkan oleh sembilan hakim konstitusi – yang kesembilannya kemarin dijatuhkan sanksi etika oleh MKMK, saya akan terus bersuara kritis atas pemanfaatan hukum oleh tangan-tangan kuasa dinasti yang terus cawe-cawe dalam Pilpres 2024.

Karena, jika sedari awal proses pencalonan tidak dipastikan berjalan dengan benar, maka saya sangat tidak yakin proses selanjutnya dan hasil Pilpres 2024 juga akan berjalan dengan jujur dan adil.

Karena itu, setelah putusan MKMK ini, setelah bersama-sama Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan 90 ke MK, saya mempertimbangkan untuk menggugat pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, ini ke sengketa proses di Badan Pengawas Pemilu RI.

Panjang umur perjuangan. Keep on fighting for the better Indonesia.

Melbourne, 8 November 2023. (*)