Rubuhnya MK Kami
Saya percaya, bahwa keriuhan Putusan MK kali ini sebenarnya bagus untuk publik, yakni menjadi cermin yang baik untuk kita semua, bahkan untuk hakim MK sendiri bahwa betapa rusak wajah kita. Hal itu terlihat dari putusan MK yang memang teramat kacau balau.
Oleh: Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. (Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM - Anggota Contitutional and Administrative Law Society - Pendiri Caksana Institute)
Saya kira, diantara sekian banyak Putusan MK yang pernah ada, inilah yang paling menimbulkan keriuhan. Sayangnya, tidak diiringi tepukan hangat tetapi cacian dan makian. Bahkan pada titik tertentu diiringi kebingungan dan kecurigaan. Sebabnya, bukan hanya karena publik membacanya aneh, tetapi juga karena para hakim sendiri, beberapa diantaranya yang meneriakkan keanehan tersebut.
Putusan 90/PUU-XXI/2023 ini aneh. Tetiba, konsep dan konstruksi dasar yang dibangun di putusan sebelumnya sirna. Putusan tetiba menyatakan bahwa usia 40 tahun dapat dinegasikan sepanjang telah pernah memegang jabatan hasil dari proses pemilihan umum (elected official). Alasan yang digunakan hanya dengan menyamakan antara sesama jabatan yang memiliki proses pemilihan secara langsung, tanpa kejelasan alasan hukum yang memadai.
Keanehan-Putusan-MK
Mudah melacak hal-hal yang aneh di dalam putusan MK kali ini. Pertama, seketika MK kelihatan tidak konsisten dengan legal standing. Bisa dibayangkan, MK yang biasanya lebih ketat dengan legal standing, tiba-tiba menerima legal standing "hanya" dengan alasan pemohon adalah seorang pengagum Walikota Solo yang menurut pemohon telah memajukan daerah Solo, sehingga patut diperjuangkan untuk lebih memperjuangkan negeri ini melalui posisi presiden atau wakil presiden. MK tetiba menerima posisi legal standing yang tak elaboratif tersebut.
Kedua, MK berdiri di atas kaki yang teramat rapuh. Hanya dengan membedakan antara penyelenggara negara dengan elected official. Ketatnya MK yang menolak mengeyampingkan hal-hal yang berkaitan dengan open legal policy, tetiba MK berubah dengan mengabulkan dengan alasan elected official. Seperti yang disinggung oleh Saldi Isra dan Arief Hidayat, jika menggunakan prinsip matematis pun sesungguhnya harusnya kesimpulannya ditolak oleh karena hanya mungkin dipakai jika syarat elected official itu dibatasi di berpengalaman jadi kepala daerah tingkat provinsi. Tetapi kali ini tidak ada penjelasan yang memadai, dan itulah yang menunjukkan kaki rapuh alasan MK tersebut.
Ketiga, tentu saja inkonsistensi dari putusan-putusan sebelumnya. Semisal penguatan open legal policy yang dilakukan di putusan lain, tetiba menjadi hilang dan dengan gamblang dan sengaja, MK mengambil putusan menerabas hal-hal yang seharusnya merupakan kewenangan pembentuk UU. MK memaksakan diri untuk masuk dan mendorong dirinya menjadi juristokratif.
Keempat, jika kita kaitkan dengan prinsip hukum, hal-hal yang berpotensi mengubah masa jabatan dan hal tertentu ini, harusnya dilakukan dengan cara menghindari kepentingan politiknya. Misalnya harusnya dengan memberlakukan di Pemilu berikutnya bukan langsung pada pemilu saat ini. Bukan secara konsepsi saja, tetapi isinya juga diiringi dengan hal menarik lainnya. Tentu saja yang paling menarik adalah membaca dissenting opinion Saldi Isra. Di situ ia menceritakan secara gamblang "misteri" yang terjadi ketika tetiba beberapa hakim konstitusi langsung berubah pendirian dan "berbelok" seakan mengubah pendirian. Beberapa hakim itu kelihatan inkonsisten bahkan tidak bisa sesungguhnya mempertahankan pendapatnya karena berubah dari suatu perkara ke perkara lain dengan basis yang minim.
Bahkan lebih gamblang, pendapat Saldi Isra juga menceritakan keanehan Ketua MK, Anwar Usman yang senantiasa konsisten tidak ikut dalam beberapa Putusan MK (yang bisa jadi dikaitkan dengan potensi konflik kepentingan menurut Arief Hidayat), tetapi khusus perkara tertentu (Perkara 90 dan 91), tetiba ikut serta. Padahal, di sinilah yang amat besar konflik kepentingannya. Oleh karena di permohonan inilah yang secara langsung menyebut nama keponakan Ketua MK di dalam permohonan. Hebatnya, malah dalam perkara itu Ketua MK Anwar Usman masuk dan ikut memutus. Hal yang menggambarkan bahwa putusan ini diambil tidak dengan rasio legis yang memadai, tetapi berdasarkan pandangan dan kepentingan sempit yang dimiliki para hakim.
Mungkin, penjelasan dissenting opinion Wahiduddin Adams yang bisa menjelaskan itu. Bahwa, ternyata problem dasar dari permohonan ini sebenarnya adalah independensi badan peradilan yakni dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Secara implisit, ia membahasakan geliat politik yang berlebihanlah yang telah menjadikan putusan menjadi seperti ini. Itulah yang ia juluki sebagai sesungguhnya ini adalah persoalan seberapa independen kekuasaan kehakiman mengambil keputusan termasuk untuk masuk ke ranah persoalan yang seharusnya bukan urusan kekuasaan kehakiman.
Putusan MK ini layak dieksaminasi oleh publik karena ketidaklayakan secara hukum yang terlalu mencolok. Putusan hakim tentu adalah putusan yang harus dihormati setelah dibacakan, tetapi bukan berarti tidak dapat dilakukan eksaminasi oleh publik. Eksaminasi ini sekaligus menjadi penanda kuat apakah memang ada alasan hukum yang memadai, atau ternyata hakim MK memang telah bersalin rupa menjadi para pemain politik.Eksaminasi Publik ini akan menjadi penanda dan upaya untuk memeriksa putusan sekaligus untuk pengingat bahwa, kembali kali ini, mahkamah kami telah menjadi pelaksana kepentingan politik, bukan lagi demi kepentingan hukum, tetapi demi kepentingan penguasa dan satu keluarga tertentu, ya itulah Mahkamah Keluarga. Dan dengan itu, kita bisa katakan, "Rubuhnya MK Kami". ***