Berbohong, Anwar Usman Langgar Konstitusi UUD Tindakan Tercela Pasal 24C ayat (5)

Anwar Usman secara sadar dan sengaja melanggar pasal benturan kepentingan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dan melanggar pasal integritas dan tindakan tercela hakim konstitusi yang diatur di dalam pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

KALAU ada dua alasan yang berbeda untuk peristiwa yang sama, maka salah satu alasan tersebut adalah bohong. Tidak bisa lain.

Terungkap, Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, memberi dua alasan berbeda ketika tidak hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) terkait putusan tiga perkara gugatan uji materi persyaratan batas usia minimum capres dan cawapres.

Kepada hakim konstitusi Saldi Isra, Anwar Usman memberi alasan tidak hadir karena ada potensi benturan kepentingan. Sedangkan kepada hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman memberi alasan kesehatan.

Satu dari dua alasan yang berbeda tersebut pasti tidak benar. Anwar Usman telah memberikan pernyataan bohong.

Artinya, Anwar Usman telah melanggar Pasal 24C ayat (5) UUD, yang berbunyi: “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.”

Karena sifat bohong adalah sifat tercela, dan tidak memiliki integritas, serta tidak bisa adil karena lebih mementingkan keuntungan pribadi.

Orang yang terbiasa berbohong, cenderung akan terus berbohong. Karena ia menganggap hal ini sebagai bentuk kewajaran.

Karena itu, sangat bahaya bagi negara kalau seorang hakim konstitusi mempunyai sifat bohong, dan berkepribadian tercela. Sehingga sifat merusak ini secara eksplisit dilarang di dalam konstitusi, pasal 24C ayat (5).

Tidak ada jalan lain, Anwar Usman harus diberhentikan dari Mahkamah Konstitusi. Bukan saja Anwar Usman melanggar kode etik benturan kepentingan, tapi Anwar Usman telah melanggar konstitusi, pasal 24C ayat (5).

Sebagai konsekuensi, semua putusan Mahkamah Konstitusi yang melibatkan Anwar Usman menjadi tidak sah dan batal demi Konstitusi.

Masuk Akal

“Bukan lagi masuk akal, putusan MK soal usia capres – cawapres wajib batal,” begitu pernyataan Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), terkait kemungkinan pembatalan putusan MK mengenai persyaratan batas usia minimum capres – cawapres.

Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie juga memberi pernyataan mengejutkan. Kehormatan Mahkamah Konstitusi sudah rusak, mencapai titik nadir dalam sejarah Indonesia.

Jimly sampai menggunakan perumpamaan “iblis”, Mahkamah Konstitusi dikuasai dua iblis, iblis kekuasaan akal bulus dan iblis kekayaan akal fulus.

Merangkai pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan Jimly tersebut, terindikasi jelas Mahkamah Konstitusi sedang tidak baik-baik saja: sedang dirusak oleh kekuatan tirani.

Terindikasi jelas, ada pelanggaran kode etik dalam menangani perkara persyaratan batas usia minimum capres – cawapres.

Pelanggaran kode etik ini pengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan persyaratan batas usia minimum capres – cawapres, dengan menambah norma baru persyaratan alternatif “…. atau berpengalaman sebagai kepala daerah”.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini jelas mengandung unsur rekayasa, manipulatif, dan melanggar hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi melanggar pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan juga melanggar pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar.

Anwar Usman secara sadar dan sengaja melanggar pasal benturan kepentingan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dan melanggar pasal integritas dan tindakan tercela hakim konstitusi yang diatur di dalam pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar.

Oleh karena itu, bukan lagi “masuk akal”. Tetapi putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud wajib batal. Karena diambil berdasarkan mufakat jahat, yang dilakukan secara sadar dan sengaja, untuk mengkhianati Konstitusi demi kepentingan pribadi keluarga. (*)