Hakim Saldi Isra: Bingung, Pierre Suteki Bilang MK "Berkomplot" dalam Mafia Hukum

Jadi, dengan demikian Gibran Rakabuming Raka yang sekarang sedang menjabat sebagai Walikota Surakarta dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres meskipun usianya belum genap 40 tahun, atau tepatnya sekitar 35 tahun.

Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Senin, 16/10 kemarin, yang dibacakan Anwar Usman (Ketua) tak cuma membuat gaduh ruang publik, tapi mendapat berbagai tanggapan dari internal MK sendiri dan para ahli hukum.

Karena putusan tersebut, sampai ada anekdot menyebut bahwa MK adalah Mahkamah Keluarga. Mengapa? Karena domain membuat dan mengubah UU adalah pembuat UU. Dalam hal ini adalah DPR.

Karena itu, Hakim Saldi Isra saja bingung apalagi rakyat. Meski Saldi menyatakan bingung atas putusan MK sekelebat itu, ia tetap bertahan dijabatan yang sudah sejak 2017 yang didudukinya itu. Kendati Saldi sempat menumpahkan uneg-unegnya, ia tak bergeming untuk mundur sebagai hakim MK. Dimaklumi saja, bila Saldi mundur, bagaimana dengan periuk keluarganya.

Tatkala penulis menjadi jurnalis dan sebagai Kabiro Jawa Pos di Lumajang 29 tahun lalu (1994) sudah mengenal sosok Anwar Usman, hakim asal NTB itu.

Ketika itu Anwar Usman masih lugu, bahkan terlihat culun bertugas di PN Lumajang. Penulis mengenal Anwar saat menjadi anggota majelis hakim mengadili almarhum Letkol Art Rudolf Aloysius Rahman (Kakansospol Kab Lumajang) dalam perkara Lakalantas yang mengakibatkan Ibu Dewi, penumpang becak jadi korban luka berat cacat seumur hidup (tulang pahanya hancur) karena tertabrak VW Safari mobdin Kakansospol.

Singkat kisah, Anwar Usman kalau itu masih bujangan, menyampaikan pendapat hukum dengan akal sehatnya: Mana mungkin becak yang dikayuh tenaga manusia bisa menabrak mobil yang bermesin, sampai bagian samping becak rusak parah?

Seminggu sebelum putusan perkara kasus tabrakan itu, penulis kerab kongkow bareng Anwar di kantin PN Lumajang. Maklum pada tahun 90-an itu tak banyak perkara di PN setempat. Sehingga, banyak waktu luang bagi hakim, termasuk Anwar untuk ngobrol-ngobrol dengan wartawan.

Dalam perkara Ibu Dewi, korban tertabrak mobdin Kakansospol itu, soal hukumnya dibantu oleh rekan-rekan penulis dari LBH Malang. Antara lain: Anshori, alm Munir, dan dosen FH Unibraw alm Latif Fariqun.

Akhirnya, Basori (15 tahun), pengayuh becak yang sempat dipenjara karena dianggap penyebab lakalantas, akhirnya diputus bebas oleh majelis hakim. Dan, Kakansospol dihukum mengganti dan menanggung segala biaya yang dikeluarkan Ibu Dewi.

Seperti diketahui MK mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) Solo bernama Almas Tsaqibbirru Re A.

Almas mengajukan gugatan tersebut bersama saudaranya, Arkaan Wahyu Re A, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Sebelah Maret (UNS) Solo. Kakak beradik itu ternyata putra Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali yang pernah atau sedang menjabat yang dipilih lewat pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Berikut amar putusan lengkap yang dibacakan Anwar Usman:

Mengadili

1.Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; 2.Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Sehingga Pasal 169 huruf q Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan amar Putusan tersebut: Plut, MK telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Jadi, dengan demikian Gibran Rakabuming Raka yang sekarang sedang menjabat sebagai Walikota Surakarta dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres meskipun usianya belum genap 40 tahun, atau tepatnya sekitar 35 tahun.

Putusan MK ini menurut saya betul-betul ambigu seperti putusan yang bersifat inkonstitusional bersyarat seperti memutus perkara Judicial Review UU Cipta Kerja atau conditionally constitutional seperti memutus perkara JR UU SDA.

Orang Jawa bilang "jas bukak iket blangkon" sama juga sami mawon (sama saja), alias setali tiga uang. Dikatakan ambigu karena meskipun tidak menurunkan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun sebagaimana dimohonkan oleh para pemohon JR, MK sebagaimana diprediksikan telah menambah frase syarat mencalonkan presiden dan wapres "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Amar putusan ini bisa dinilai bahwa MK telah menjalankan wewenangnya untuk melakukan "negative legislature" dengan menyatakan Pasal 169 huruf q tidak konstitusional, sekaligus melakukan larangan melakukan "positive legislature" dengan norma baru berupa frase tambahan "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Ambiguitas putusan MK ini dapat disebabkan adanya dugaan bahwa MK telah "berkomplot" dengan lembaga legislatif atau mungkin lembaga lainnya untuk memuluskan kemauan berbagai pihak agar Gibran, Walikota Surakarta, dapat dicalonkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto atau pun Ganjar Pranowo.

Pendaftaran Capres dan Cawapres Pemilu 2024 tinggal menghitung hari, apakah betul Gibran akan dipinang sebagai Cawapres Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo? Jika betul, maka dugaan bahwa MK telah berkomplot dengan pihak legislatif patut diduga telah terbukti. Peraturan hukum mudah sekali diubah oleh mafia hukum demi kepentingan rezim mafia hukum.

Dan ketika aturan hukum sering diubah untuk kepentingan rezim status quo, maka dapat diyakini demokrasi telah mati (How Democracies Die) yang ditulis Ziblatt dan Levitsky (2018)). Dengan demikian pula MK patut diduga sebagai pihak yang "berkomplot" untuk membunuh demokrasi di Indonesia. (*)