Kasus SYL: Puncak Perang Terbuka NasDem versus Istana?
Seperti halnya kasus Johnny G. Plate, tidak ada uang sepeserpun yang masuk ke NasDem. Tidak ada catatan di Bendahara NasDem, adanya uang hasil korupsi oleh kadernya yang diduga terlibat korupsi. Sebab, semua operasional NasDem dibiayai dari deposito dana pribadinya yang disimpan di sebuah bank swasta terbesar di Indonesia.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
TAMPAKNYA Istana sudah tidak punya cara lain lagi untuk membendung dukungan rakyat terhadap pasangan bakal capres – cawapres, Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar, selain “ngerjain” NasDem, salah satu partai Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang mengusung AMIN ini.
Untuk memuluskan upaya penjegalan itu, maka satu-satunya jalan adalah dengan men-downgrade NasDem melalui kasus dugaan korupsi yang menimpa dua mantan menterinya: Jhony Gerald Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika; dan Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian.
Serangan terhadap NasDem kemudian mengarah kepada “kampanye” bahwa partai yang kadernya terjerat kasus korusi harus dibubarkan. Apalagi, sampai ada pernyataan dari petinggi NasDem yang mengakui ada uang korupsi yang disetor ke NasDem.
Narasi seperti itu bisa dilihat dari kanal Hersubeno Point, Kamis malam (12/10/2023). Judulnya: “Nasdem Akui Terima Aliran Dana Dari SYL, Pencapresan Anies Bisa Batal?” Arahnya jelas, jika NasDem terbukti terima aliran dana dari hasil korupsi, maka partainya harus “dibubarkan”.
Sehingga otomatis pasangan AMIN berpotensi tidak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Benarkah demikian aturannya?
Sejauh ini aturan soal partai terima duit korupsi, masih belum ada. Kalau ada berarti PDIP, Golkar, PPP, PKB, Demokrat, PKS, dan lain-lain tak boleh ikut Pemilu dan Pilpres sejak lama. Karena sebagian besar partai-partai yang punya perwakilan di parlemen ini juga terima “duit hitam”.
Selain itu, bagaimana caranya membuktikan uang sumbangan kader itu duit hitam. Sebab, semua duit yang ada di Indonesia warnanya sama, baik dari keringat sendiri maupun jalur kriminal, atau juga hasil korupsi.
Terus, apakah kalau ada kader sumbang partai, bendahara partai harus tanya: “Apakah ini uang haram atau halal?” Dijamin, tidak akan pernah ada pertanyaan seperti itu, sampai kapanpun.
Kalau ada aturan partai terima aliran uang korup tak boleh ikut Pilpres, maka ketiga bakal capres seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tidak boleh ikut Pilpres 2024 semua. Sebab KPK, Kejagung, dan Polri harus melacak sumbangan kader koruptor yang tertangkap selama periode rezim Joko Widodo sejak 2014.
Dalam skandal Base Transceiver Stasion (BTS) yang menyeret Jhony G. Plate itu, justru partai pengusung bakal capres Koalisi Istana yang terima uang korupsi semua. PDIP, Golkar, maupun Gerindra. Jumlahnya yang terbanyak justru perusahaan milik suami Puan Maharani, Basis Investment Indonesia.
Dalam akta terakhir perseoran tertanggal 19 Juli 2022 tersebut mencatat nama Muhammad Yusrizki Muliawan sebagai direktur. Dan, sebanyak 99,9% saham PT Basis Utama Prima atas nama Happy Hapsoro, pengusaha yang juga suami Ketua DPR Puan Maharani.
Bahkan, nama Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, juga disebut terima aliran dana Rp 27 miliar, yang kemudian dikembalikan ke Kejaksaan Agung. Dito sempat menjadi salah seorang saksi dalam persidangan kasus BTS tersebut.
Penabuh genderang “perang terbuka” yang sekarang terjadi itu justru Istana sendiri. Kalau partai besar terima dana hasil korupsi, maka hanya partai kecil bersih yang bisa mengajukan pasangan bakal capres – cawapres, yakni PKS saja.
Jika merunut nama Syahrul Yasim Limpo (SYL yang sedianya sudah dijadikan sebagai tersangka KPK sejak Januari 2023, tapi pihak Istana belum setuju, tampaknya kasusnya mau digunakan untuk bargaining dengan Surya Paloh, Ketum NasDem agar membatalkan dukungannya pada Anies Baswedan sebagai bacapres. Bargaining, kabarnya, dilakukan oleh Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Memang, sebelumnya LBP yang kini terbaring sakit dirawat di sebuah RS di Singapura karena kena serangan jantung itu, beberapa kali bertemu dengan Surya Paloh. Tujuannya jelas, bargaining agar NasDem membatalkan pencalonan Anies Baswedan sebagai bacapres.
Namun Surya Paloh tegak lurus. Tidak keder, tidak gentar. Sebab percuma. Lolos periode ini, tapi dipastikan akan dijerat pada periode pasca Pilpres 2024. Daripada ditunda, dan tanpa ada peluang ditolong. Lebih baik diputuskan periode akhir Presiden Jokowi.
SYL telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK. SYL diduga bersama-sama dengan anak buahnya, KSD (Sekjen Kementerian Pertanian 2021 s/d sekarang) dan HTA (Direktur Pupuk Pestisida 2020-2022/Direktur Alat Mesin Pertanian tahun 2023) melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
Atas perbuatannya, mereka disangka melanggar Pasal 12E dan atau Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo Pasal 56 dan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Surat penangkapan atas nama Syahrul Yasin Limpo itu ditandatangani langsung oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dalam surat tersebut, dijelaskan pasal korupsi yang menjerat SYL. Politikus NasDem itu dijerat dengan Pasal 12E dan/atau Pasal 12B.
Siapa nama pejabat di Kementan berinisial KSD dan HTA tersebut? Jika menelisik jabatan dan inisial keduanya di Kementan itu, maka ditemukan nama Dr. Ir. Kasdi Subagyono, MSc sebagai Sekjen Kementerian Pertanian 2021 s/d sekarang. Oleh KPK namanya disingkat dengan KSD.
Sedangkan pejabat dengan inisial HTA yang menjabat sebagai Direktur Pupuk Pestisida 2020-2022/Direktur Alat dan Mesin Pertanian tahun 2023) adalah Muhammad Hatta, SSTP, MM. Apa benar yang dimaksud KPK ini adalah keduanya?
Adapun perkara korupsi yang dituduhkan dalam bentuk pemerasan, gratifikasi, hingga pencucian uang ini, terjadi di lingkungan Kementerian Pertanian Tahun 2019-2023.
Perbuatan yang diduga sebagai tindak pidana korupsi ini, terkait masalah penyalahgunaan SPJ yang notabene termasuk keuangan negara, gratifikasi, suap menyuap, pembantuan, bersama-sama perbuatan berlanjut, penggabungan beberapa perkara lain.
Sebalumnya, Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur, mengatakan jika kasus yang melibatkan SYL masih dalam tahap penyelidikan. Tapi, kabar yang beredar, perkara tersebut sudah disetujui naik ke tingkat penyidikan.
"Saat ini KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Kementan," kata Asep Guntur seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (14 Juni 2023 | 15:53 WIB).
Konon, sebenarnya penetapan itu sudah dilakukan sejak Januari 2023, tapi belum sepenuhnya disetujui pihak Istana. Apalagi, sedianya SYL mau dikaitkan dengan kasus narkoba yang diduga melibatkan keluarganya. Dengan harapan, SYL akan mengundurkan diri sebagai menteri.
Namun, setelah “cubitan” mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ramai, dan ada yang mengritik di twiter, “Oligarki jangan korbankan Polri dan BNN untuk memenuhi ambisi mempertahankan kekuasaan. Kalau diseret dengan kasus korupsi, itu baru fair”, barulah kasus itu berubah menjadi terkait korupsi dan TPPU.
Jadi, pada Januari 2023 lalu, sebenarnya SYL sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tapi, pihak Istana belum setuju atas permohonan KPK. Saat itu, yang ditargetkan KPK ada beberapa nama menteri, termasuk menteri dari NasDem yang lain: Siti Nurbaya, Menteri LHK.
Denny Indrayana sebelumnya juga pernah menyebut SN juga bakal diseret dalam kasus korupsi seperti SYL dan Menkominfo Johnny G. Plate, yang sama-sama dari NasDem.
Konon, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (SN) akan dijerat dengan kasus pengadaan mangrove di kementeriannya. Namun, dari info yang diterima Freedom News, semua pengadaan bukan dilakukan oleh menteri. Tapi oleh para bawahan SN.
Menteri hanya menerbitkan perintah pelaksanaan, setelah dapat perintah dari Presiden Jokowi. Dan, pengadaan tersebut dilakukan dengan lelang terbuka. Yang menang tender dan nilainya itu negatif. Bukan proyek yang ditangani perusahaan milik kader NasDem. Tapi, proyek yang ditangani oleh kader partai Koalisi Istana.
Artinya ini bukan soal urusan politik. Tapi, urusan pelanggaran hukum. Surya Paloh sebagai Ketum NasDem juga sudah tahu. Karena itu, saat ini Surya Paloh diam dan tersenyum saja. Tak ada reaksi karena Surya Paloh sudah tahu kalau SYL memang diduga terlibat korupsi dan TPPU.
Seperti halnya kasus Johnny G. Plate, tidak ada uang sepeserpun yang masuk ke NasDem. Tidak ada catatan di Bendahara NasDem, adanya uang hasil korupsi oleh kadernya yang diduga terlibat korupsi. Sebab, semua operasional NasDem dibiayai dari deposito dana pribadinya yang disimpan di sebuah bank swasta terbesar di Indonesia.
Skandal korupsi SYL ini uangnya diduga tidak mengalir ke NasDem, justru ke kantor-kantor kader partai lain, seperti kasus Base Transceiver Stasion (BTS). (*)