Kejanggalan dan Indikasi Pelanggaran Hukum: Rempang Eco City Wajib Batal
Bahwa konversi lahan menurut UUPA ini sudah lewat batas waktunya, bukan berarti hak milik masyarakat hilang dan diambil negara. Pemerintah seharusnya proaktif mengkonversi lahan masyarakat (adat) tersebut menjadi sertifikat. Bukan sengaja mendiamkan.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
PROYEK Rempang Eco City dikebut. Kejar tayang. Sampai tabrak peraturan.
Proyek investasi di Rempang mulai diangkat kembali oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2015. Kemudian dibahas cukup intens selama periode 2016-2021 oleh pemerintah pusat. Apa daya, payung hukum ketika itu sangat pelik untuk bisa memberi konsesi pengelolaan lahan satu pulau Rempang kepada investor. Karena, status kawasan pulau Rempang seluas sekitar 17.000 hektar merupakan hutan konservasi Taman Buru, dan hutan lindung.
Sebagian hutan Taman Buru kemudian dialihkan menjadi hutan produksi konversi pada 6 Juni 2018. Luasnya sekitar 7.562 hektar. BP Batam berharap diberikan hak pengelolaan lahan (HPL) atas kawasan tersebut. Tujuannya, agar dapat memberikan hak pengelolaan lahan kepada investor, yaitu PT MEG.
Di sini timbul kejanggalan pertama. Apa dasar persetujuan pengalihan atau pelepasan kawasan hutan taman buru tersebut. Apakah sudah ada hasil penelitian dari tim terpadu, sesuai ketentuan peraturan dan UU yang berlaku? Dan, kalau ada, bagaimana publik bisa akses terhadap dokumen hasil rekomendasi tim terpadu tersebut? Kalau tidak ada, berarti pengalihan kawasan hutan tersebut ilegal.
Karena, pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, bahwa perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasarkan hasil penelitian terpadu (ayat 1), dan untuk cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan persetujuan DPR (ayat 2). Apakah Menteri Kehutanan sudah memenuhi semua ketentuan perundang-undangan ini?
Meskipun begitu, dasar hukum untuk mengubah peruntukan kawasan hutan produksi menjadi lahan komersial masih terkendala, sehingga belum dapat diberikan kepada investor, dalam hal ini PT MEG.
Pemerintah kemudian menerbitkan UU (Omnibus Law) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. Klaster Kehutanan mengatur Penggunaan Kawasan Hutan untuk keperluan komersial, yang sebelumnya tidak bisa.
Pasal 38 UU Cipta Kerja memberi fasilitas untuk itu. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan (di luar kegiatan kehutanan) dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (ayat 1), tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Luar biasa saktinya UU Cipta Kerja!
Asal, pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang ditandatangani Jokowi pada 2 Februari 2021. Antara lain untuk kegiatan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (pasal 91 butir c), dan industri selain Pengolahan Hasil Hutan (pasal 91 butir i). Peraturan Pemerintah ini sangat sakti!
Butir terakhir ini, pada dasarnya, menyatakan bahwa semua kegiatan industri bisa masuk kawasan hutan tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Asal, kegiatan tersebut mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Sangat sakti.
Apa arti tujuan strategis?
Kemudian, untuk kegiatan program atau proyek strategis nasional, UU Cipta Kerja membebaskan kewajiban PNBP kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (Pasal 94 ayat (8) hutuf f). Maksudnya PT MEG? Luar biasa.
Malapetaka datang. Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional (bersyarat). Kalau dalam 2 tahun tidak diperbaiki, maka akan menjadi inkonstitusional permanen. MK juga perintahkan pemerintah menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja tersebut.
Dua tahun berlalu tanpa ada perbaikan. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pelaksananya, PP 23/2021, menjadi inkonstitusional permanen per 2 November 2022. PP 23/2021 tersebut memang sudah tidak sah, karena MK melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana.
Rezim Joko Widodo, tepatnya Jokowi, nekat. Pada 30 Desember 2022, Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. PERPPU Cipta Kerja ini pada intinya sama dengan UU Cipta Kerja sebelumnya, UU Nomor 11/2020, yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Oleh karena itu, PERPPU Cipta Kerja dapat dimaknai sebagai pembangkangan terhadap perintah MK, dan otomatis melanggar konstitusi. Itu yang pertama. Selain itu, kedua, PERPPU Cipta Kerja juga melanggar konstitusi terkait dugaan rekayasa “Kondisi Kegentingan Memaksa” krisis ekonomi global, yang ternyata sampai sekarang tidak terbukti sama sekali.
Selain itu, pengesahan PERPPU Cipta Kerja menjadi UU No 6 Tahun 2023 oleh DPR juga cacat hukum. Karena, PERPPU tidak disahkan oleh DPR pada persidangan DPR berikutnya setelah penerbitan PERPPU. DPR baru melaksanakannya pada sidang berikutnya lagi. Cacat hukum.
Proyek Rempang sejak saat itu kejar tayang. April 2023, Xinyi International Investment Limited, perusahaan China berbasis di Hong Kong, menyatakan minat untuk investasi pabrik kaca dan pembangkit listrik berbasis solar panel di Rempang. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan sigap meluncurkan program Pengembangan Kawasan Rempang Eco City seluas 17.000 hektar, diberikan kepada pengembang tunggal, PT MEG.
Pada 28 Juli 2023, Xinyi, PT MEG, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, menandatangani MOU Proyek Eco City Rempang. Disaksikan oleh Jokowi. Investasi meliputi pabrik kaca, pembangunan pabrik solar panel, pembangkit listrik berbasis solar panel (PLTS), dan ekspor listrik ke Singapore, yang tentu saja melanggar hukum. Karena swasta tidak boleh jualan listrik.
Untuk mempercepat proses legalitas dan kejar tayang, Airlangga Hartarto kemudian memberi status Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional pada 28 Agustus 2023. Absurd! Apanya yang strategis? Status Proyek Strategis Nasional ini rupanya hanya untuk mendapatkan izin penggunaan kawasan hutan Rempang, menggunakan UU Cipta Kerja yang terindikasi jelas melanggar konstitusi.
Status Proyek Strategis Nasional rupanya juga digunakan untuk mengosongkan kawasan Rempang dan mengusir masyarakatnya dari tanah leluhur mereka. Ini terjadi 5 September 2023, seminggu setelah mendapat status Proyek Strategis Nasional.
Pemberian status Proyek Strategis Nasional nampaknya melanggar UU Cipta Kerja itu sendiri. Pertama, Pelepasan Kawasan Hutan hanya dapat dilakukan setelah dilakukan penelitian (oleh tim) terpadu. Kedua, status Proyek Strategis Nasional hanya bisa diberikan untuk proyek Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD.
Bab X, Pasal 173 ayat (1) UU No 6 Tahun 2023: Pemerintah pusat atau pemerintah daerah …. bertanggung jawab dalam menyediakan lahan …. bagi proyek strategis nasional dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.
Artinya, pemerintah tidak boleh ikut campur menyediakan lahan untuk proyek Rempang Eco City yang dikelola swasta. Apalagi sampai mengusir warga setempat. Maka itu, pelepasan atau penggunaan kawasan hutan Rempang untuk proyek Rempang Eco City swasta jelas melanggar UU.
Pemberian lahan seluas satu pulau atau sekitar 17.000 hektar untuk satu investor Rempang Eco City juga melanggar UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi bahwa penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), dan dipertegas bahwa pemerintah wajib mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)). Bukannya mencegah, pemerintah malah memfasilitasi. Absurd!
Masyarakat Rempang didiskreditkan sebagai penduduk liar yang menyerobot lahan negara, sehingga boleh saja diusir, atau direlokasi secara dipaksa. Ternyata, kebanyakan dari mereka merupakan penduduk setempat secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.
Mereka saat ini tidak atau belum ada sertifikat, tetapi tidak berarti mereka bukan pemilik lahan yang mereka tempati. Mereka seharusnya, secara otomatis, diberikan hak milik atas lahan yang mereka tempati turun temurun, seperti bunyi Pasal 1, Bagian Kedua UUPA, hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik …
Bahwa konversi lahan menurut UUPA ini sudah lewat batas waktunya, bukan berarti hak milik masyarakat hilang dan diambil negara. Pemerintah seharusnya proaktif mengkonversi lahan masyarakat (adat) tersebut menjadi sertifikat. Bukan sengaja mendiamkan.
Masyarakat Adat Rempang pernah mengajukan permohonan penetapan hak tanah (17/09/2020) kepada Kementerian ATR/BPN, tetapi tidak mendapat jawaban solutif. Jawaban pemerintah mempertahankan status quo.
Menimbang indikasi pelanggaran-pelanggaran di atas, proyek Rempang Eco City layak dibatalkan, dan bahkan digugat. (*)