Kian Membusuk dalam Era Jokowi
Persoalannya, mereka itu berasal dari Partai Nasdem yang mencapreskan Anies Rasyid Baswedan. Yang mengusung konsep perubahan. Sesuatu yang sangat tidak disukai rejim.
Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior
TIDAK mungkin dibantah. Bahwa penegakan hukum di negeri ini memang sedang mengalami pembusukan. Ketika sejumlah lembaga penegakan hukum kian hari tercoreng-moreng citranya, disebabkan begitu banyaknya contoh pelanggaran oleh para penegak hukum sendiri. Tidak ubahnya seperti pameo “pagar makan tanaman”.
Tentu saja, publik dibuat kecewa dan marah oleh sejumlah pelanggaran yang hari demi hari dipertontonkan oleh para aparat penegak hukum. Yang jahat. Yang makin banyak jumlahnya. Yang tanpa memiliki rasa malu melakukan pelanggaran sesuka hatinya. Terutama selama masa 9 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Meski di masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya juga terjadi sejumlah kasus pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum, namun volumenya tidak seperti sekarang. Kasus-kasus yang memperlihatkan bahwa moral value itu sudah tercerabut dari para penegak hukum.
Jokowi tentunya tahu. Tapi sejauh ini presiden terkesan cuek. Tidak ada upaya yang cukup untuk menangkalnya. Termasuk untuk memberantasnya. Bahkan, presiden terkesan membiarkan saja kasus-kasus itu mengemuka jadi santapan publik hari demi hari. Dengan alasan tidak ingin ikut campur tangan dalam persoalan hukum.
Akibatnya, berbagai kasus hukum disuguhkan ke hadapan publik dengan segala dinamikanya. Di antaranya adalah kasus-kasus yang memperlihatkan bahwa justru Jokowi sendiri menghendaki kasus-kasus itu terjadi.
Dengan cara menutup mata rapat-rapat. Karena presiden memiliki "vested interest” yang terkait dengan itu. Termasuk karena presiden sedang cawe-cawe.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun, yang dibacakan Senin (16/10/2023) lalu adalah salah satu contoh nyata.
Meskipun awalnya muncul pemberitaan bahwa MK menolak gugatan uji materi itu, namun sore harinya terjadi perubahan yang luar biasa. Karena MK memutuskan sebaliknya. Menerima permohonan gugatan itu, dengan menetapkan bahwa Capres maupun Cawapres diturunkan syarat usianya dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Karena satu syarat lainnya yang diketengahkan adalah: Berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, setelah melalui proses pemilihan oleh rakyat.
Kecurigaan Jadi Nyata
Sejak munculnya pemberitaan mengenai uji materi itu, publik sudah mencurigai bahwa hal itu merupakan bagian dari cawe-cawe Jokowi. Karena ingin agar putera sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, bisa menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang.
Kendalanya, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, batas usia minimum Capres dan Cawapres adalah 40 tahun.
Untuk menghadapi kendala itu, maka MK memutuskan membolehkan syarat usia Capres-Cawapres diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Sebuah putusan yang telah mencoreng rasa keadilan publik. Karena menganggap penguasa bisa saja mengubah aturan yang sudah berlaku, untuk memuluskan keinginannya sendiri. Sebagaimana terjadi sekarang.
Bagaimanapun, kecurigaan publik itu jadi kenyataan. Dengan tudingan bahwa semua itu terjadi atas kehendak Jokowi. Tentu saja dengan keberadaan Anwar Usman sebagai Ketua MK, yang tidak lain adalah adik ipar Jokowi, sekaligus paman Gibran. Sehingga banyak orang memplesetkan MK menjadi Mahkamah Keluarga.
Sebuah dagelan yang tidak lucu. Karena awalnya MK seolah akan menolak gugatan uji materi itu. Tapi dalam hitungan jam putusan berubah jadi menerima. Sementara Jokowi sendiri seolah tidak tahu menahu.
Karena presiden sedang melakukan kunjungan ke Cina. Banyak orang curiga hal itu memang disengaja. Agar terkesan Jokowi tidak menyaksikan keputusan yang sudah “diatur” itu dibuat. Sementara itu adanya disenting opinion dari beberapa hakim konstitusi dianggap publik sebagai dagelan tambahan yang tidak lucu.
Sekarang, banyak pihak mengungkapkan hilangnya “public trust” terhadap MK. Putusan MK yang terakhir ini, sebagaimana juga beberapa putusan sebelumnya, membuat rakyat meyakini bahwa MK telah berubah.
Sebagai lembaga yang lahir dari rahimnya reformasi, MK ternyata tidak tumbuh sesuai aspirasi masyarakat luas. Karena putusan-putusan MK justru benar-benar mencederai akal sehat publik.
Jika MK tetap dibiarkan seperti ini, maka “public trust” akan semakin tergerus. Tapi persoalannya bukan hanya itu. Kalau dalam masalah gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 tentang Pemilu saja MK memutuskan seenak udelnya, bagaimana dengan putusan soal sengketa pemilu atau pilpres nanti.
Jika terjadi sengketa pemilu. Yang oleh sebagian kalangan sudah terendus bahwa MK lagi-lagi akan jadi Mahkamah Keluarga.
MK bukannya jadi mahkamah konstitusi yang diharapkan peran dan fungsinya, menyusul reformasi besar-besaran pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru Soeharto. Tapi, sebaliknya malah jadi mahkamah pencabik-cabik demokrasi.
Lalu bagaimana dengan KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung? Sepertinya sama sebangun dengan MK, satu demi satu lembaga penegak hukum sudah kehilangan marwahnya. Ketika semua pimpinannya bertekuk lutut di bawah ketiak presiden.
Selanjutnya, bagaimana pula dengan MPR, DPR dan DPD RI? Sekali lagi, semua itu setali tiga uang. Ketika penguasa memberlakukan kebijakan politik “stick and carrot” (baca: hukuman dan hadiah), semua lembaga tinggi dan tertinggi negara seolah ketakutan.
Ikut-ikutan tak berani mengoreksi kebijakan presiden. Sehingga pembagian tugas dan wewenang dalam konsep trias politica sudah tak jelas. Karena masing-masing lembaga dalam ruang lingkup legislatif dan yudikatif sudah terkooptasi karena begitu besarnya kekuasaan eksekutif.
Karena itu, sekarang rakyat tidak bisa berharap apa-apa. Menunggu kesadaran penguasa tentu tak mungkin. Mereka sedang mabuk menikmati kekuasaan. Tidak perlu dibantah, karena semua orang tahu. Bahwa KPK dan Kejaksaan Agung itu kini sudah jadi mainan Jokowi, untuk memukul lawan dan merangkul kawan.
Kasus korupsi mantan Menkominfo Jhony G. Plate dan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo membuat mata publik terbelalak. Dengan bukti-bukti yang ada tentu layak mereka jadi tersangka.
Persoalannya, mereka itu berasal dari Partai Nasdem yang mencapreskan Anies Rasyid Baswedan. Yang mengusung konsep perubahan. Sesuatu yang sangat tidak disukai rejim.
Pertanyaannya sekarang ini: Mengapa hanya menteri-menteri dari Nasdem yang disasar, sementara kasus-kasus besar yang melibatkan partai-partai lain dibiarkan mengendap?
Apakah benar mereka tidak berani melawan, karena masing-masing punya kasus yang mudah diungkap? Silakan anda jawab sendiri. Wallahu a’lam! (*)