KPK Pengkhianat, Masih Bergunakah?
Bisa saja Jokowi khawatir korupsi melanda diri dan keluarganya. Kemudian menjadi ancaman jika ia sudah tidak berkuasa. Mengubah status adalah awalan untuk langkah pengamanan. Mumpung DPR masih bisa diatur.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
ADALAH Rizal Ramli yang meneriakkan KPK harus kembali kepada khittahnya. Seruan itu muncul saat 35 orang tokoh, yang di antaranya M Amien Rais, Letjen Mar (Purn) Soeharto, Mayjen Purn Soenarko, Marwan Batubara, Ubeidilah Badrun, Muslim Arbi dan lainnya menggeruduk KPK.
Rizal Ramli menilai, KPK sudah keluar dari khittahnya sebagai lembaga produk reformasi yang diamanati untuk mencegah dan memberantas korupsi. Korupsi pada era Joko Widodo luar biasa besar dan vulgar.
KPK dinilai tebang pilih dalam menangani kasus, menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik, serta enggan menyentuh kasus-kasus yang diduga terkait dengan Istana. Lambat dan bermain-main dalam memproses serta berbau mafia atau konspirasi.
KPK dulu dan KPK kini jauh berbeda. KPK dulu memberantas korupsi dengan hati dan misi suci, KPK kini menjadi alat negoisasi dan sandera kendali. Muncul istilah pasien "rawat inap dan rawat jalan".
Kedatangan Rizal Ramli dan Amien Rais beserta tokoh-tokoh nasional lain itu berniat menggebrak dengan menemui Ketua KPK atau Pimpinan KPK atau sekurangnya Komisioner KPK. Tapi sayang tidak satupun dari unsur-unsur tersebut berhasil ditemui tanpa kejelasan keberadaannya. Ada rasa enggan untuk menemui tamu yang datang bersilaturahmi dan berniat baik itu.
Pihak Keamanan atau Humas KPK memberi keterangan simpang siur. Katanya Ketua KPK tidak ada di tempat. Demikian juga dengan seluruh anggota Komisioner. Berikutnya keterangan yang disampaikan adalah Pimpinan dan seluruh anggota Komisioner sedang sibuk bekerja di ruang-ruang gedung KPK. Delegasi menyimpulkan, KPK memang kehilangan nyali. Dengan alibi dan alasan birokrasi.
Ada tiga hal yang menjadi tujuan kedatangan. Pertama, menyampaikan kepada pimpinan KPK gagasan dan pikiran konstruktif untuk mengoptimalkan fungsi KPK. Kedua, mengadukan temuan kasus yang dinilai penting. Ketiga, mempertanyakan penanganan kasus laporan dugaan korupsi Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka, keduanya putera Presiden Jokowi. Namun, ketiganya "rungkad" atau ambyar karena arogansi. KPK memang hampir mati.
Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta Ketetapan MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN menjadi landasan atau khittah untuk KPK. Ada amanat proses hukum cepat, hukum berat, dan cabut aturan penghambat. Basmi korupsi.
Akan tetapi UU yang dibuat sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR tersebut ternyata direvisi untuk proses pemandulan. Mahasiswa yang berdemonstrasi ditembak mati. Pimpinan KPK di bawah Firli Bahuri murni mengkhianati. Akhirnya sejati menjadi alat kepentingan Jokowi.
KPK berjalan menuju gerbang kematian. Jokowi membangun infrastruktur jalan itu. Masuknya korupsi dalam KUHP baru telah mengubah perbuatan korupsi dari "extra ordinary crime" menjadi "ordinary crime".
Dahulu ancaman minimal 4 tahun penjara dan maksimal hukuman mati, kini jadi minimal 2 tahun maksimal 20 tahun penjara. Korupsi menjadi kejahatan biasa-biasa saja. Lalu bergunakah KPK?
Bisa saja Jokowi khawatir korupsi melanda diri dan keluarganya. Kemudian menjadi ancaman jika ia sudah tidak berkuasa. Mengubah status adalah awalan untuk langkah pengamanan. Mumpung DPR masih bisa diatur.
Terlepas dari kemungkinan kekhawatiran itu, KPK memang telah mengkhianati khittah pencegahan dan pemberantasan korupsi. KPK tidak disadari telah menjadi penjahat. Bukan menjadi institusi reformasi untuk menyelamatkan uang rakyat dan negara tetapi mengabdi demi kepentingan Jokowi dan oligarki.
Seorang mantan pimpinan KPK ketika diberitahu akan ada upaya tokoh untuk mengingatkan KPK, mengomentari singkat "summum bukmun umyun". Benar saja, ternyata mereka itu "tuli, bisu, dan buta" – bebal dan menyebalkan. (*)