Mahkamah Kacrut
MK bukan saja tidak bermutu tetapi tidak perlu. Personalnya perusak. Dissenting opinion menjadi drama Korea, pura-pura demokratis padahal tidak berpengaruh. Pencitraan semata. Publik skeptis dengan keseriusan penanganan kasus.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
TERLALU banyak ejekan pada Mahkamah Konstitusi yang kerjanya kacrut alias kacau. Pantas disebut Mahkamah Kacrut, Mahkamah Keluarga, Mahkamah Kongkalikong, Mahkamah Kroni, Mahkamah Keledai atau Mahkamah Kecoa. Ketuanya adalah Anwar Usman adik ipar Joko Widodo atau paman Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Rakyat sudah muak dengan perilaku hakim-hakim pengkhianat rakyat. Berbaju konstitusi berhati besi. Tidak peduli pada aspirasi.
Putusan uji material tentang usia capres cawapres penuh manipulasi. Tujuannya memfasilitasi keluarga istri, adik Jokowi. Saat putusan diambil Jokowi pergi ke luar negeri menemui kakak besar. Alasan formalnya ikut KTT dan membangun jaringan bisnis, informalnya tidak jelas.
Bisa saja lapor perkembangan politik dalam negeri. Xi Jinping kan sudah dianggap saudara. Atau mungkin meminta arahan dari kakak besar itu? Semua menjadi misteri.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menetapkan batasan usia Capres Cawapres 40 tahun. Lalu membuka peluang bebas batas usia asal pernah/sedang menjadi Kepala Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Artinya pintu untuk Gibran menjadi sangat terbuka. Inilah agenda terselubung dari Judicial Review itu. MK sendiri sesungguhnya dinilai tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara gugatan seperti ini.
Putusan demikian dinilai seenaknya dan bertentangan dengan Konstitusi. MK mengambil porsi kewenangan pembuat UU.
MK memang Mahkamah Kontroversial. Sebelumnya belasan gugatan PT 20% tidak diterima atau ditolak. Padahal gugatan tersebut untuk memperbaiki kehidupan politik domestik agar semakin matang dan demokratis. Lalu gugatan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tolak dan tolak. Ada Putusan MK "Inkonstitusional bersyarat" perintah memperbaiki 2 tahun.
Hebatnya, Putusan "aneh" MK itu ternyata kongkalikong Jokowi yang alih-alih memperbaiki dan menjalankan Putusan MK, justru mengeluarkan Perppu. DPR sang "tukang stempel" setuju Perppu menjadi Undang-Undang. MK senyum-senyum saja. No komen. Mungkin menurutnya tidak ada ketentuan yang mengatur keharusan adanya komen.
MK bukan saja tidak bermutu tetapi tidak perlu. Personalnya perusak. Dissenting opinion menjadi drama Korea, pura-pura demokratis padahal tidak berpengaruh. Pencitraan semata. Publik skeptis dengan keseriusan penanganan kasus.
Apalagi yang dikaitkan dengan Jokowi dan keluarganya. Putusan usia Capres/Cawapres dan pengalaman jabatan sebagai Kepala Daerah adalah contoh drama akal-akalan itu.
Dengan personal dan cara kerja seperti itu Para Hakim MK layak diberhentikan atau dibubarkan. MK bukan menjadi pengawal Konstitusi melainkan pelanggar dan penginjak-injak Konstitusi. Kebiasaan buruk ini diprediksi akan terus berlanjut saat MK menjadi pemutus kasus Pemilu 2024. Mahkamah Kongkalikong adalah hama bangsa yang tidak dapat dipercaya.
Evaluasi isi Konstitusi harus menyentuh keberadaan Mahkamah Konstitusi. Upaya menjadikan MK sebagai lembaga terhormat dan berwibawa semakin jauh dari harapan. Ketua MK Anwar Usman adalah sopir yang menjalankan kendaraan secara ugal-ugalan.
Memang MK adalah Mahkamah Kacrut! (*)