Marwah MK Makin Runtuh: Skenario Menggagalkan Pilpres?

Ayat tersebut memang dari Kitab Suci Al-Qur`an. Tapi, spiritualitasnya bersifat universal. Karena itu, ayat tersebut sesungguhnya bisa menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan keyakinan. Artinya, ada kekuatan di luar manusia yang maha menentukan.

Oleh: Agus Wahid, Direktur Analisis Center for Public Policy Studies – Indonesia

UNTUK sekian kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) – secara sadar – mencoreng marwahnya tanpa malu. Integritasnya tergadai. Tak lagi bisa diharapkan sebagai benteng penegak konstutusi yang jernih, berkadilan untuk rakyat dan negeri. Dan kali ini, terjadi lagi pencorengan itu. Yaitu, sebuah putusan yang – secara substansial – mengabulkan gugatan perubahan batasan minimal usia calon presiden dan atau wakil presiden.

Meski batasan usia maksimal 40 tahun masih dipertahankan, tapi batasan usia itu “dihempaskan” atau dieliminasi dengan frasa “dan atau pernah menjabat sebagai kepala daerah”, padahal tak ada dalam materi gugatan. Arahnya jelas: mengakomodasi kepentingan politik keluarga (keponakan), yakni Gibran Rakabuming Raka, yang masih berusia sekitar 35 tahun, namun kini masih menjabat sebagai Walikota Solo, bukan sekedar pernah.

Yang perlu kita cermati lebih jauh, apakah sekedar mengakomodasi kepentingan istana dan itu konsekuensi dari ketundukannya terhadap titah sang kakak ipar? Atau memang, ada skenario menggagalkan agenda pemilihan presiden (pilpres) yang – pada 19 Oktober besok – sudah dibuka pendaftaran pasangan capres-cawapres secara resmi?

Kedua variabel itu sulit dibantah. Di satu sisi, jauh sebelum MK memutus perkara yang sangat kontroversial itu, sudah terbaca skenario putusan yang sama sekali bukan otoritasnya. Secara konstitusi, batasan usia capres-cawapres memang hasil legislasi DPR RI. Namun, Ketua MK Anwar Usman selaku person yang lebih punya wewenang dibanding hakim lainnya memainkan peranan politik hukum untuk memfasilitasi kepentingan politik keponakannya, dan atau keluarga Istana itu.

Kini – sebagai sisi lain – kita menatap implikasi dari putusan MK. Tak lama setelah disampaikan putusan itu, sejumlah elemen bereaksi negatif dan – secara ekstensif – mereka menyiapkan suatu gelombang perlawanan terhadap putusan MK itu. Reaksi barisan mahasiswa ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Dengan catatan yang sangat kontras bahwa rezim ini jelas-jelas telah menggunakan kekuasaannya untuk melanggar konstitusi meski kali ini melalui tangan MK, namun barisan mahasiswa di seluruh tanah air sudah menyatakan satu opsi: lawan. Bukan hanya mendesak MK harus mencabut putusan kontroversial itu, tapi juga mengarah pada status rezim ini, yang notabene masih berkuasa secara sah menurut hukum. Sebuah status yang sejatinya perlu dipertanyakan.

Kini, kita perlu meneropong seberapa besar tingkat eskalasi perlawanan mahasiswa. Setidaknya, ada dua skenario yang perlu kita baca.

Pertama, jika murni perlawanan mahasiswa tanpa membersamakan elemen tentara dan rakyat, perlawanan itu akan “kempes” di tengah jalan. Gerakan moral mereka cukup mudah digembosi dengan pendekatan politik kooptasi. Para pentolannya dirangkul dengan sejumlah iming-iming fasilitas tertentu. Ketika pendekatan ini efektif, maka seruan perlawanan itu – pada akhirnya – menguap.

Namun – sebagai skenario kedua – gerakan mahasiswa sangat mungkin disambut positif oleh elemen rakyat dan tentara. Jika kebersamaan aksi perlawanan ini murni, maka akan memerlukan rentang waktu. Tidak cukup dengan hitungan jam atau sehari-dua hari, apalagi durasinya dibatasi, misalnya turun sekitar jam 14:00 – 18:00. Segenuin apapun gerakan yang berbatas waktunya sulit diharapkan hasil akhirnya.

Namun dan inilah yang layak kita curigai, jika gerakan mahasiswa langsung mendapat responsi publik secara meluas dan di dalamnya terdapat pula anasir rezim yang terlibat langsung, maka implikasinya akan segera meledak secara nasional. Jika hal ini terjadi, maka skenario chaos tampak sedang dimainkan.

Atas nama “keadaan darurat”, rezim berwenang untuk mengeluarkan dekrit. Diktum pertama dan utama berbunyi “pilpres ditunda sampai keadaan pulih (tenang)”. Dan diktum berikutnya bisa saja sang rezim menyatakan memperpanjang kekuasaannya sampai batas yang tidak ditentukan. Atau, menyerahkan kekuasaan kepada pihak tertentu sesuai keinginan rezim, bukan kepada Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri (triumphirat).

Bagi rezim, poko`e pilpres ditunda. Why? Karena, inilah satu-satunya cara untuk menghadang pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), sebagai pasangan yang berpotensi menang, siapapun lawannya, termasuk andai Gibran dipasangkan dengan capres manapun. Bagi rezim, pilpres hanyalah jalan untuk kepentingan pasangan AMIN.

Persoalannya bukan faktor sosok pasangan AMIN itu, tapi kebijakan ke depannya yang dinilai sangat membayakan kepentingan Istana saat ini dan kaum bohir yang selama ini memproteksi dan memfasilitasinya.

Kalkulasinya juga bukan sekedar ekonomi mikro dan makro, tapi perhitungan ideologis yang dirancang jelas rezim ini naik ke panggung kekuasaan sekitar sembilan tahun lalu. Kalkulasi ideologis itu – harus kita cermati – berujung pada okupasi negeri ini, yang kini sudah ditancapkan sinyal kuatnya dalam wajah pembangunan ibukota baru Nusantara (IKN) di Penajam - Paser Utara - Kalimantan Timur.

Sekali lagi, putusan MK terkait upaya meloloskan keponakannya hanya skenario menggagalkan pilpres yang sebentar lagi digelar. Jauh sebelumnya kita saksikan tragedi Rempang.

Tadinya, perampasan hak secara paksa terhadap warga Rempang mampu membangkitkan solidaritas etnik Melayu untuk melakukan perlawanan. Namun, kita saksikan, perlawanan itu tak sampai merembes dalam skala yang jauh lebih meluas. Artinya, skenario menggagalkan pilpres melalui Rempang gagal total (gatot).

Dan baru-baru ini, juga kita saksikan skenario menggembosi Partai NasDem melalui proses hukum Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dengan argumentasi hukum di mana SYL dicecar untuk menyatakan NasDem – sebagai partai – menerima aliran dana haram dari SYL, maka skenarionya adalah NasDem gugur secara hukum menjadi pengusung AMIN.

Jika NasDem terdelate sebagai pengusung, maka tinggal PKS dan PKB sebagai pengusang AMIN. Jumlah kedua partai itu hanya 17,90% dengan rincian: PSK – dalam pemilu 2019 lalu – memperoleh 11.493.663 suara atau sama dengan 8,21% (50 kursi). Sedangkan PKB memperoleh 13.570.970 suara (9,69%) dengan jumlah 58 kursi.

Jumlah prosentase PKS dan PKB jelas tidak memenuhi ambang batas minimal untuk bisa turut mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden. Jika NasDem gagal mengusung AMIN, sementara waktu yang sudah demikian mepet, maka – di depan mata – PKS dan PKB sulit mencari koalisi baru, karena seluruh partai yang ada sudah dalam genggaman penguasa, dalam kubu Merah ataupun kubu Prabowo.

Perlu kita garis-bawahi, pemberlakuan skenario menggagalkan Anies memang tak pernah henti, sampai ke titik akhir.

Kasus SYL dan putusan MK – tak bisa dipungkiri – tak jauh dari upaya sistimatis menghempaskan pasangan AMIN yang – di atas kertas – menang. Kini, kita tinggal menunggu waktu kurang dari 48 jam. Apakah skenario penjegalan itu akan tetap dimainkan?

Jika lolos dari 48 jam itu, apakah skenario kesehatan fisik dan mental capres-capres juga akan dimainkan? Bahkan jika dengan cara-cara prosedural itu tetap gagal, apakah akan muncul cara-cara “kasar” dan “halus” yang tetap akan dimainkan?

Akhirnya, kita perlu meyakini seperti yang ditegaskan Allah dalam Surah Ali Imran: 54, “skenario Allah sebaik-baik skenario (Wallahu khiorul maakirin)”. Maka, jika Allah kehendaki AMIN sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI kedelapan, maka skenario secanggih apapun untuk menggagalkan AMIN akan mentallah skenario itu.

Untuk memperkuat sikap yang tak perlu ngoyo (memaksakan), kiranya layak direnungkan Q. S Ali Imran: 26 - 27, “Qulillāhumma mālikal-mulki tutil-mulka man tasyāu wa tanzi'ul-mulka mim man tasyāu wa tu'izzu man tasyāu wa tużillu man tasyā, biyadikal-khaīr, innaka 'alā kulli syaiing qadīr”.

(Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Sebagai anak bangsa yang Pancasilais sejati, bukan sekedar ngaku-ngaku, kiranya – sebagai refleksi implmentatif bersila pertama Pancasila – maka ayat itu bisa menjadi pengendali untuk tidak memaksakan kehendak secara dzalim. Karena kejahatan atau skenario apapun yang dilakukan dalam kaitan pilpres, tapi jika Allah kehendaki AMIN berkuasa, maka tak ada satu pun yang mampu menghalanginya.

Ayat tersebut memang dari Kitab Suci Al-Qur`an. Tapi, spiritualitasnya bersifat universal. Karena itu, ayat tersebut sesungguhnya bisa menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan keyakinan. Artinya, ada kekuatan di luar manusia yang maha menentukan.

Dan spirit implisitnya telah mengingatkan juga agar umat manusia menyadari diri untuk menghindari kejahatan apapun karena pasti terhempas jika Allah melindungi dan menggilirkan kekuasaan untuk seseorang yang sudah dipilih itu.

Dan bagi kita selaku anak bangsa yang mendasarkan Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, maka Sila pertama relevan untuk dihayati dan diamalkan. Untuk kepentingan kita dalam bermasyarakat dan bernegara. Inilah sikap berintegritas nyata ber-NKRI. Bukan hanya slogan. (*)