Monolog Butet Ajak Kepalkan Tangan Melawan Keadilan

Pidato Butet yang dikemas seolah-olah budayawan, tidak lebih sebagai pidato yang berisi sampah demokrasi, yang tak layak disampaikan di hadapan publik. Pidato itu justru menegaskan siapa Butet sebenarnya.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi

MENARIK memang membincang monolog Butet Kertaradjasa. Monolog yang dihadirkan pada peringatan Bulan Bung Karno dan diadakan oleh PDI-P itu mengusung kepalkan tangan untuk persatuan, namun sayangnya tema itu ternodai oleh monolog Butet, yang justru sarat dengan provokasi kebencian dan memecah-belah persatuan.

Betapa tidak, atas nama kebebasan berekspresi, Butet menebar fitnah dan berita bohong kepada lawan politik. Dia junjung Ganjar Pranowo, dia jatuhkan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

Apa yang salah dari Anies, Butet ternyata hanya mampu melihat Anies dari persepsi dirinya yang salah, sehingga tak ada satupun kebenaran Anies yang bisa dilihat dari sudut Butet. Hal yang sama terjadi pada Parabowo, tak ada yang baik apa yang dilakukan Prabowo di mata Butet.

Lalu sesungguhnya siapa yang bermasalah? Ibarat peribahasa, gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak, kiranya ini pantas disematkan kepada Butet. Selama ini Butet berlindung di balik nama budayawan untuk merawat dan mengekspresikan kebenciannya kepada orang lain yang dianggap tak sejalan.

Provokasi Butet dalam peringatan Bulan Bung Karno tersebut justru membawa semangat kepalkan tangan untuk melawan keadilan. Mengapa? Salah satu serangan fitnah yang dilakukan Butet adalah ditujukan kepada Anies. Tampaknya Butet tidak mampu membaca dan melihat rekam jejak Anies selama memimpin Jakarta, padahal Butet hampir tiap hari menikmati perubahan Jakarta. Butet tak mampu melihat dengan mata kasatnya apalagi mata hatinya.

Rekam jejak Anies adalah rekam jejak keadilan. Selama memimpin Jakarta, Anies adalah contoh pemimpin yang mampu mewujudkan amanat konstitusi. Anies hadir di tengah kesulitan warganya, Anies hadir saat warga membutuhkan.

Pernahkah Butet melihat kehadiran Anies menutup reklamasi yang membantu nelayan sebagai sebuah keberpihakan? Pernahkah Butet melihat pemberian 1000 IMB kepada rakyat Jakarta di Petamburan sebagai sebuah keadilan setelah selama ini mereka terlantar akibat peraturan gubernur sebelumnya?

Pernahkah Butet melihat Anies memberi kemudahan perizinan pendirian rumah ibadah dan memberi bantuan kepadanya sebagai tindakan keadilan? Pernahkah Butet melihat Jalan Thamrin yang selama ini hanya diperuntukkan kepada kalangan tertentu lalu dibuka oleh Anies dan boleh dilalui oleh kendaraan roda dua sebagai sebuah upaya menghadirkan keadilan?

Pernahkah Butet melihat pelarangan razia dan yustisi kepada pendatang yang dilakukan oleh Anies sebagai sebuah upaya menghadirkan keadilan? Dan banyak lagi narasi-narasi keadilan yang lain.

Menyesalkah Butet? Tentu tidak, Butet akan selalu berlindung atas nama kebebasan berekspresi dan kebudayaan, tapi sayangnya Butet melupakan bahwa kebebasan berekspresi juga berlaku pada orang lain, yang membedakan Butet meninggalkan etika sementara lawan politiknya menjaga nilai dan etika.

Pada akhirnya, hanya mereka yang beretika dan mampu menjaga nilai Indonesia kita amanahkan, bagaimana mungkin Indonesia akan baik kalau kita serahkan ke pemimpin yang didukung oleh mereka yang tak beretika dan tak mampu menjaga nilai dan merawat persatuan dan mewujudkan keadilan?

Monolog Butet bisa dipahami sebagai monolog yang memecah persatuan dan melawan keadilan.

Semua orang tahu siapa sebenarnya Bung Karno, selain sebagai pejuang dan pahlawan nasional, Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan RI dan sekaligus menjadi presiden pertama.

Sepak terjang Bung Karno dalam banyak catatan sejarah menorehkan sebuah keberanian dan keberpihakan, terutama kepada kaum marhaen. Dalam sejarah penyusunan naskah Undang Undang Dasar dan Pancasila, Bung Karno terlihat sebagai negarawan dan mengedepankan musyawarah mufakat. Nama besar Bung Karno menjadi jaminan persatuan Indonesia.

Bulan Juni diakui PDIP sebagai bulan Bung Karno, bulan di mana seluruh kader PDIP diharapkan mampu meneladani sikap Bung Karno. Namun sayangnya, pada peringatan tersebut, Minggu, 25 Juni 2023, dinodai dengan orasi Butet Kartaradjasa yang justru jauh dari semangat Bung Karno yang mengedepankan persatuan dan menghargai perbedaan. Hanya karena berbeda pilihan dalam calon presiden, Butet menebar sampah fitnah dan kebencian.

Akibatnya, PDIP yang jelas-jelas mengusung nama demokrasi, saat itu kehilangan jati dirinya, jati diri sebagai partai yang mengusung nilai-nilai demokrasi yang menghargai perbedaan dan lebih mengedepankan persatuan. Padahal dalam arena yang sama, pidato-pidato yang lain adalah pidato-pidato yang berisi semangat dan berjuang.

Pidato Butet yang dikemas seolah-olah budayawan, tidak lebih sebagai pidato yang berisi sampah demokrasi, yang tak layak disampaikan di hadapan publik. Pidato itu justru menegaskan siapa Butet sebenarnya.

Kasian Butet, usianya yang senja dan mendekati tanah, seharusnya lebih bijak, menebar persatuan dan kasih sayang, namun sayangnya jiwanya dipenuhi amarah dan kebencian. Semoga Butet diberi hidayah menjadi manusia baik dan husnul khotimah dalam menjalani hidupnya. (*)