Pengunjung Sidang Membludak: Bongkar Ijazah Palsu

Saat Hamas membuat kejutan dengan serangan unik pada Israel, gugatan soal ijazah palsu Jokowi dapat menjadi serangan kejutan pula. Mata rakyat sama-sama akan dapat melihat dan menilai tentang kejujuran dari seorang Presiden.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

SIDANG pertama gugatan ijazah palsu Joko Widodo yang digelar PN Jakarta Pusat pada 9 Januari 2023 mendapat perhatian publik sangat besar. Ruang Sidang Subekti penuh sesak oleh pengunjung yang melihat langsung.

Pihak keamanan kewalahan untuk menertibkan. Gemuruh suara kecewa ketika Ketua Majelis Hakim yang mengadili dan memeriksa perkara gugatan perbuatan melawan hukum tersebut mengetuk palu dan menunda persidangan untuk waktu 2 (dua) minggu.

Dua Tergugat tidak hadir yaitu Ketua DPR RI dan Kemendikbud ristek satu Turut Tergugat Menkeu juga tidak hadir. Menariknya Kuasa Hukum Tergugat I Jokowi justru hanya membawa Surat Tugas bukan Surat Kuasa.

Hal tersebut menjadi perhatian serius apakah Jokowi memang tidak mengerti hukum bahwa untuk menghadiri persidangan itu seharusnya membawa Surat Kuasa bukan Surat Tugas? Entah dari Kantor Hukum mana Kuasa Hukum Jokowi tersebut.

Dalam Konferensi Pers pihak Penggugat sangat menyayangkan ketidakhadiran Tergugat dan Turut Tergugat dalam persidangan perdana tersebut. Padahal dinilai cukup waktu bagi para pihak untuk mempersiapkan kehadiran dalam persidangan, baik itu prinsipal sendiri atau kuasanya.

Permasalahan keberadaan atau keaslian ijazah Jokowi adalah hal yang sangat serius bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Membludaknya pengunjung membuktikan besarnya perhatian publik atas kasus ini. Ada hal wajar bagi perhatian besar tersebut, karena:

Pertama, baru dalam sejarah kepemimpinan nasional di Indonesia ada seorang Presiden yang diragukan kepemilikan ijazah asli baik Sekolah Menengah maupun Perguruan Tinggi. Presiden sendiri tidak pernah mengklarifikasi atau membuktikan keberadaan ijazahnya tersebut.

Kedua, sebagai figur publik atau Kepala Negara betapa riskannya jika ternyata ia tidak memiliki ijazah asli. Persyaratan untuk menjadi Calon Presiden menjadi tidak terpenuhi. Artinya Presiden Jokowi harus segera mundur atau dimundurkan. Bahkan terancam sanksi hukum.

Ketiga, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat ternyata tidak memiliki kepekaan atas fenomena yang terjadi. Tidak peduli dengan isu ijazah palsu Presiden Jokowi. Semestinya secara institusi atau sebagai anggota DPR tentunya bisa menggunakan hak-hak yang dimilikinya seperti hak interpelasi, menyatakan pendapat atau hak angket.

Keempat, ketika masalah besar dianggap kecil, maka kemarahan rakyat menjadi tidak terbendung. Apa yang terjadi di dalam atau di luar ruang sidang PN Jakarta Pusat saat persidangan perdana menjadi napas dari kemarahan tersebut. Kekesalan dan makian bergemuruh bersama bentangan spanduk bernarasi berbagai sindiran soal ijazah palsu Jokowi.

Kelima, peradilan perdata di PN Jakarta Pusat menjadi harapan adanya ruang ajang "adu bukti" khususnya dalam menguak atau membongkar keberadaan ijazah asli Sekolah Menengah atau Perguruan Tinggi Presiden Jokowi. Instansi yang kompeten diuji akan keterbukaan, kejujuran dan tanggungjawabnya terhadap masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.

Saat Hamas membuat kejutan dengan serangan unik pada Israel, gugatan soal ijazah palsu Jokowi dapat menjadi serangan kejutan pula. Mata rakyat sama-sama akan dapat melihat dan menilai tentang kejujuran dari seorang Presiden.

Sebagaimana Hamas yang berjuang untuk kemerdekaan negerinya, maka para Penggugat dan Kuasanya sedang berjuang untuk kebaikan negerinya pula.

Perjuangan untuk membersihkan Indonesia dari kultur masa bodoh, kultur bohong dan bodong. Kultur penuh dengan kepalsuan. (*)