Pernyataan Rocky Gerung Standar Oposisi di Negara Liberal

Problemnya jika persoalan ini dibawa ke ranah hukum hingga sampai ke pengadilan, maka akan semakin banyak penjelasan Rocky Gerung di Meja Hijau/Pengadilan untuk membuktikan dalilnya tentang Bajingan, Tolol dan Pengecut.

Oleh: Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik UNJ (Universitas Negeri Jakarta)

BOROK-borok kekuasaan akan diumbar di meja pengadilan dan situasi politik bisa jadi akan memanas, jika Rocky Gerung disidang. Rencananya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menjadwalkan perkara ini, Selasa, 22 Agustus 2023.

Pernyataan Rocky Gerung itu pernyataan standar sebagai oposisi. Saya sebut standar karena itu hal umum di negara yang memilih sistem demokrasi, apalagi Indonesia di era saat ini memilih jalan demokrasi liberal (bukan demokrasi Pancasila).

Ini terlihat dari cara-cara Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengelola negara dengan sangat liberal, saking liberalnya sampai mengarah kepada new-otoriterianism.

Di negara yang demokrasinya liberal siapapun Presidennya harus siap dikritik oleh pihak oposisi dengan beragam narasi yang mungkin bernada hinaan. Kalau tidak siap dikritik dengan keras ya jangan pernah mau jadi Presiden di negara liberal seperti Indonesia ini.

Apa yang disampaikan Akademisi dan Pengamat Politik Rocky Gerung itu harus ditonton dan dibaca dalam satu rangkaian narasi yang utuh dan panjang, jangan sepotong-sepotong hanya di bagian kata “bajingan, tolol atau pengecut”, tetapi lihat argumen dan konteksnya atau bahkan makna konotatifnya secara semiotik.

Dengan tonton atau baca menyeluruh maka kita akan menemukan argumen dan konteksnya.

Argumen, konteks dan makna semiotiknya sebenarnya tidak masalah karena posisi Rocky Gerang secara politik adalah memang oposisi. Jadi sebagai oposisi ia berhak melakukan kritik dengan bahasa sesuai standarnya Rocky Gerung yang tentu ia memiliki argumen, konteks dan makna semiotiknya tersendiri secara konotatif, tidak dimaknai begitu saja secara denotatif.

Apalagi cara oposisi Rocky Gerung memang unik karena di saat yang sama ia juga berselancar dengan jejaring penguasa, misalnya ia pernah terlihat dekat dengan Mahfud MD dalam satu frame podcast, menerima Gibran Rakabuming Raka, putera sulung Jokowi di rumahnya, dan menghadiri undangan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai pembicara di peluncuran buku LBP.

Jika pernyataan Rocky Gerung itu dilaporkan oleh relawan Jokowi ke Bareskrim Polri sebagai penghinaan terhadap Presiden, saya kira itu cara yang reaktif cenderung represif dan tentu tidak intelektual.

Apalagi Relawan dalam konteks pelaporan tersebut bukan sebagai korban dari apa yang mereka sebut sebagai penghinaan. Mereka semacam tidak langsung memiliki legal standing sebagai korban.

Jika Jokowi yang melaporkan langsung memungkinkan akan direspon Bareskrim karena Jokowi sebagai korban dan proses hukum akan berjalan.

Problemnya jika persoalan ini dibawa ke ranah hukum hingga sampai ke pengadilan, maka akan semakin banyak penjelasan Rocky Gerung di Meja Hijau/Pengadilan untuk membuktikan dalilnya tentang Bajingan, Tolol dan Pengecut.

Borok-borok kekuasaan akan diumbar di depan persidangan meja pengadilan secara terbuka, sehingga bukan tidak mungkin situasi politik tambah akan memanas. Sampai di situ saya tidak percaya Jokowi akan berani hadapi situasi itu. (*)