Prahara Mahkamah Konstitusi: Akal Sehat Melawan Dua ‘Iblis’ Akal Bulus dan Akal Fulus

Jadi, terbuka kemungkinan Anwar Usman dipidana, kalau terbukti dengan sengaja melanggar Pasal benturan kepentingan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengakibatkan Prahara, bukan saja di MK, tetapi di Indonesia secara keseluruhan.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PEMBAJAKAN Kedaulatan Rakyat tengah dipertontonkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang seharusnya menjadi penegak konstitusi menjelma menjadi penghancur konstitusi. Prahara. Begitu kata Hakim Mahkamah Konstitusi.

Sebagian orang menikmati Prahara ini. Mungkin sudah terbayang kenikmatan yang akan diterima di kemudian hari. Tanpa peduli dengan moral, etika, dan hukum. Begitulah revolusi mental akhirnya berlabuh.

Prahara tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No 90 yang menambah norma baru pada persyaratan batas usia minimum capres dan cawapres, yang seharusnya bukan wewenangnya, tetapi wewenang DPR sebagai lembaga pembuat UU.

Bahkan gugatan uji materi batas usia itu seharusnya tidak bisa disidangkan. Karena penggugat tidak mempunyai legal standing. Seperti pernyataan dua hakim konstitusi yang memberi pendapat tidak setuju (dissenting opinion).

Para pakar hukum tata negara terhentak. Tidak percaya atas Prahara yang sedang terjadi. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie, yang juga mantan Ketua MK itu mengatakan, Mahkamah Konstitusi berada di titik nadir, di titik tergelap dalam sejarah Indonesia. Semua hakim konstitusi dilaporkan melanggar kode etik. Ini hanya terjadi di Indonesia, dan satu-satunya di dunia.

Para pendukung Prahara berpesta0pora meski Prahara Putusan Mahkamah Konstitusi ini diduga cacat hukum. Mereka tidak peduli.

Mereka berpesta-pora. Berhasil menaklukkan konstitusi. Dibantu dua “iblis”. Yaitu: iblis kekuasaan dan iblis kekayaan, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie.

Pendukung Prahara bereuforia. Putusan Mahkamah Konsitusi wajib dilaksanakan, karena final and binding. Tidak ada upaya hukum lainnya lagi. Begitu argumen mereka.

Tetapi, Prof. Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, tidak sependapat. Memang benar, Putusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat, dan wajib ditaati oleh semua pihak. Tapi kondisi itu hanya berlaku kalau Putusan Mahkamah Konstitusi sah secara hukum.

Bagaimana kalau Putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah, apakah wajib ditaati? Dan, pertanyaan selanjutnya, apakah bisa, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah?

Sangat bisa. Begitu menurut pendapat Prof. Denny Indrayana. Alasannya, kekuasaan hakim itu, termasuk hakim konstitusi, diatur dan dibatasi oleh undang-undang. Yaitu UU No 48 Tahun 2009. Sehingga hakim tidak bisa bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.

Kalau hakim melanggar kekuasaan yang diberikan kepadanya seperti diatur di dalam UU, maka Putusan hakim tersebut menjadi tidak sah.

Mengutip penjelasan Prof. Denny Indrayana yang beredar luas di media sosial. Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman itu menjelaskan, bahwa hakim wajib mengundurkan diri kalau ada benturan kepentingan atas perkara yang akan disidangkan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sangat jelas mempunyai benturan kepentingan terhadap perkara persyaratan batas usia minimum capres cawapres. Karena itulah maka Anwar Usman harus mengundurkan diri dari persidangan perkara tersebut. Faktanya, Anwar Usman tidak mengundurkan diri sehingga melanggar Pasal 17 ayat (5).

Sebagai konsekuensi dari pelanggaran ini, Putusan perkara dinyatakan tidak sah, dan hakim yang melanggar itu dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bunyi Pasal 17 ayat (6): “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Jadi, terbuka kemungkinan Anwar Usman dipidana, kalau terbukti dengan sengaja melanggar Pasal benturan kepentingan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengakibatkan Prahara, bukan saja di MK, tetapi di Indonesia secara keseluruhan.

Sebagai konsekuensi selanjutnya, Pasal 17 ayat (7) mengatur, “Perkara tersebut diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.”

Saat ini, sidang pelanggaran kode etik sedang berlangsung. Kalau pernyataan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa satu atau lebih hakim konstitusi melanggar kode etik, khususnya terkait benturan kepentingan, maka secara otomatis Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak sah, tanpa MKMK harus membatalkan Putusan yang tidak sah tersebut. (*)